MENTAL
KORUPSI DI KALANGAN PEJABAT PEMERINTAHAN SULIT DIBERANTAS
Disusun oleh :
Drs. Nanang Nugraha, SH.MSi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Sejarah
Pemberantasan Korupsi
-
Orde Lama
Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemerikasaan Tindak Pidana Korupsi.
-
Orde Baru
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
-
Orde Reformasi
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun
2001.
B.
Definisi dan
Jenis Korupsi
1.
Definisi Korupsi
Disimak dari terminologi korupsi yang
berasal dari kata latin corruption
atau corruptus yang berasal dari kata
corrumpere suatu kata lain. Dalam
beberapa bahasa di Eropa seperti bahasa Inggris corruption, corrupt, bahasa Perancis dengan kata corruption dan bahasa Belanda menggunakan
kata corruptie yang selanjutnya
menjadi korupsi dalam bahasa Indonesia. Sedangkan di Malaysia ditemukan istilah
resuah yang berasal dari bahasa Arab (riswah) yang artinya sama dengan korupsi
dalam bahasa Indonesia.
Secara sempit korupsi adalah penyalahgunaan
jabatan public untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
2.
Jenis Korupsi
a)
Tarnstactive
Corruption : (Suap)
b)
Extortive
Corruption : (Pungli)
c)
Insentive
Corruption : (Gratifikasi)
d)
Nepotistic
Corruption : (Nepotisme)
e)
Autogenic Corruption : (Pemberian Informasi)
f)
Supportive
Corruption : (Melindungi Kelompok)
C.
Ciri – ciri
Korupsi
1.
Korupsi
senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
2.
Korupsi
pada umumnya dilakukan secara rahasia.
3.
Korupsi
melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
4.
Mereka
yang terlibat langsung adalah yang meginginkan keputusan yang tegas dan mereka
yang mampu mempengaruhi keputusan itu.
5.
Tindakan
korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau masyarakat umum.
6.
Suatu
perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggung jawaban dalam
tahanan masyarakat.
D.
Sebab – sebab
Korupsi di Indonesia
1.
Kerawanan
kondisi social ekonomi.
2.
Kerusakan
moral
3.
Kelemahan
sistem
4.
Birokrasi
administrasi yang kacau
5.
Adm.
Pemerintah tidak The Right Man In The
Right Place/Nepotisme
6.
Memanfaatkan
kelemahan UU/Peraturan
7.
Wewenang
yang kurang kendali
8.
Sistem
manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien
9.
Faktor
sosial budaya malu
10.
Aji
mumpung
11.
Gaya
hidup
BAB II
A.
Pendekatan (Cara
Pandang)
1.
Melihat
korupsi sebagai suatu tindak pidana saja akan membatasi pendekatan kita
terhadap korupsi.
2.
Pada
kenyataannya korupsi lebih merupakan sebuah attitude/perilaku atau hasil dari sistem yang lemah / buruk.
3.
Korupsi
tidak hanya berbicara tentang bad people,
tetapi juga merupakan gambaran dari bad
systems.
4.
Dilihat
dari sebabnya, korusi dapat dibagi 2 :
a.
Corruption by
need
Perbaikan penggajian dan sistem
penggajian yang perlu upaya sistematis dan melibatkan berbagai instansi.
b.
Corruption by
greed
Penegakkan hukum diyakini sebagai upaya
yang lebih efektif agar tidak lagi terjadi kejahatan-kejahatan yang sama.
B.
Politik
(Kebijakan) Hukum Pemberantasan Korupsi
1.
Kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime)
2.
Penguatan
sanksi untuk menimbulkan efek jera (hukuman minimum)
3.
Pencegahan
di samping penindakan
4.
Penindakan
pada kasus-kasus “besar”
5.
Lembaga
khusus (extra ordinary body)
6.
Partisipasi
masyarakat
7.
Kerjasama
internasional
C.
Korupsi Sebagai
Produk Sistem yang Buruk
1.
Sistem
Hukum : Peraturan, Peradilan,
dan Pelayanan Hukum
2.
Sistem
Politik : Pemilu, Kepartaian,
Pemerintahan, dll
3.
Sistem
Sosial : Status sosial (appearance lebih utama ketimbang performance)
4.
Sistem
Budaya : Upeti, Hadiah,
Gratifikasi
5.
Sistem
Birokrasi : Struktur, Kinerja,
Loyalitas, dll
(Adm. pemerintahan)
D.
Modus Operandi
Korupsi
Dari berbagai kasus yang ditanda tangani
Kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya ditemukan bentuk-bentuk cara
melakukan korupsi menggunakan modus :
1.
Pemalsuan
dokumen, dilakukan dengan cara membuat surat palsu, dokumen palsu atau berita
acara palsu, ini sering terjadi dalam pembangunan proyek fisik seperti gedung,
jalan, lahan, reboisasi, pengerukan sungai dan berbagai pekerjaan yang
memerlukan adanya berita acara pada saat pencairan dana proyek. Dalam dunia
perbankan pun sering terjadi dengan membuat surat-surat palsu yang berkaitan
dengan agunan kredit yang disebut dengan “mark up” dan juga yang berkaitan
dengan proses pencairan dana dalam kegiatan perbankan.
2.
Pemalsuan
kwitansi, ini biasanya terjadi pada tanda terima sejumlah uang yang diisikan berbeda
dengan besar jumlah fisik dana yang sebenarnya.
3.
Menggelapkan
uang/barang milik negara atau kekayaan negara; umumnya dilakukan oleh para
bendaharawan proyek dimana ia seharusnya menyimpan uang tersebut secara baik
sesuai ketentuan yang ada, tetapi malah memakai uang tersebut untuk keperluan
pribadi.
4.
Penyogokan
atau penyuapan biasanya terjadi antara seseorang memberikan hadiah kepada
seorang pegawai negeri dengan maksud agar pegawai negeri itu berbuat atau
mengalpakan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
E.
Pengaturan
Tindak Pidana Korupsi
1.
Tap
MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara negara yang bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2.
Tap
MPR RI Nomor VIII/MPR/2001
Rekomendasi arah kebijakan korupsi,
kolusi dan nepotisme.
3.
Undang-undang
RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.
Undang-undang
RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
F.
Rumusan Delik
Korupsi
1.
Pasal
2 (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum
telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp 200.000.000,- (Dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (Satu
milyar rupiah)”.
Dalam Undang-undang ini tindak pidana
korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat
penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam
Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara,
pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.
2.
Pasal
2 (2)
“Dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
mati dapat dijatuhkan”.
3.
Pasal
3
“Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (Satu
milyar rupiah)”.
4.
Pasal
4
“Pengembalian kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.
5.
Pasal
7 (1)
“Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan atau pidana denda sebesar Rp 100.000.000,- (Seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 300.000.000,- (Tiga ratus juta rupiah) : a. Pemborong, ahli bangunan yang
pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. Setiap orang yang mengawasi pembangunan
atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a”.
6.
Pasal
11
“Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda sebesar Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya”.
7.
Pasal
12 B
(1)
Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a.
Yang
nilainya Rp 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b.
Yang
nilainya kurang dari Rp 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2)
Pidana
bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit Rp
200.000000,- (Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (Satu
milyar rupiah).
8.
Pasal
26 A
Alat bukti yang sah
dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk
tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a.
Alat
bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik denganalat optik atau yang seruap dengan itu; dan
b.
Dokumen,
yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
9.
Pasal
37
(1)
“Terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi”.
(2)
“Dalam
hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti”.
G.
Tantangan
1.
Rumusan
Tindak Pidana Korupsi yang masih kabur (Vague
norm)
2.
Sinkronisasi
nilai-nilai moral dan hukum
3.
Pendekatan
yang terlalu”legalistik” akan menimbulkan bias keadilan
4.
Persamaan
di depan hukkum (equality before the law)
5.
Lahirnya
korupsi/kejahatan baru (Markus)
BAB III
PEMECAHAN
MASALAH
1.
Mewujudkan
secara transparansi prinsip Reward and
Punishment.
2.
Mengoptimalkan
Penegakkan Hukum.
3.
Membenahi
Kesadaran Hukum Masyarakat.
4.
Meningkatkan
Kesejahteraan bagi Pegawai Negeri.
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Tidak
seluruh masalah korupsi dapat diselesaikan dengan hukum.
2.
Kemauan/komitmen
politik dan konsistensi dari pucuk pimpinan.
3.
Dukungan
sistem.
4.
Kesadaran
hukum masyarakat.
Ditulis Oleh : Unknown ~ Berbagi Design Blogger
Sobat sedang membaca artikel tentang MENTAL KORUPSI DI KALANGAN PEJABAT PEMERINTAHAN SULIT DIBERANTAS. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebarluaskan artikel ini, tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar bijak Anda sangat di nantikan ..Terimakasih.Salam Sukses...