Home » » Tanggungjawab pidana korporasi

Tanggungjawab pidana korporasi

Written By Unknown on Jumat, 28 Desember 2012 | 16.04

TANGGUNG JAWAB PIDANA KORPORASI YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh :
Drs. Nanang Nugraha, SH., M.Si.
Aspek hukum tindak pidana ekonomi terhadap tindak pidana korporasi yang menjual makanan
yang telah kadaluWarsa

A.     Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana
1.      Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana sering juga disebut dengan delik, istilah delik atau delict sendiri berasal dari bahasa latin delictum, namun dalam hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit. Istilah tersebut merupakan resmi yang digunakan dalam strafwetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sampai saat ini masih berlaku dan masih digunakan sampai sekarang.[1][1] Ada banyak istilah strafbaar feit yang diartikan dalam bahasa Indonesia, di antaranya diartikan sebagai perbuatan yang dapat atau boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.[2][2]
Namun dalam menerjemahkan dalam bahasa Indonesia, istilah strafbaar feit diartikan berbeda-beda oleh para pakar hukum, baik oleh pakar hukum dari Indonesia maupun oleh pakar hukum dari barat. Para sarjana hukum barat memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai istilah strafbaar feit, antara lain sebagai berikut:[3][3]
a.    Menurut SIMONS
Menurut SIMONS, een strafbaar feit adalah suatu tindakan atau perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig), dan dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Dari pengertian een strafbar feit tersebut SIMONS membagi dalam dua golongan unsur, yaitu unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat keadaan atau masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekenings vatbaar) dari petindak.
b.    Menurut VAN HAMEL
Menurut VAN HAMEL, strafbaar feit adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang­-undang, yang bertentangan dengan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang bertanggung jawab, dan tindakan mana bersifat dapat dipidana.

c.    Menurut VOS
Menurut VOS, strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang, dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
d.    Menurut POMPE
Menurut POMPE, strafbaar feit adalah pelanggaran            kaidah atau menggangu ketertiban hukum, terhadap pelaku             yang mempunyai kesalahan untuk pemidanaan adalah wajar, untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesajahteraan umum.
Ada juga istilah stratbaar feit yang diterjemahkan oleh sarjana-sarjana hukum dari Indonesia, antara lain Moeljatno dan Roeslan Saleh. Moeljatno dan Roeslan Saleh tidak menerjemahkan istilah stratbaar feit secara langsung dan mereka lebih suka memakai istilah perbuatan pidana. Moeljatno tidak suka menggunakan istilah peristiwa pidana dikarenakan suatu peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, seperti matinya seseorang, hukum pidana tidak melarang orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain.[4][4]

2.      Unsur-unsur Tindak Pidana
Setiap perbuatan pidana haruslah terdiri dari unsur-unsur yang merupakan fakta dari perbuatan yang dilakukan pelaku tindak pidana, dan apabila semua unsur tindak pidana terbukti dilakukan oleh pelaku tindak pidana, maka pelaku tindak pidana tersebut dapat dipidana yang jenis dan besaran pidananya telah diatur oleh KUHP atau oleh peraturan perundang-undangan pidana khusus lainnya sesuai yang dengan perbuatan yang telah dilakukan pelaku tindak pidana tersebut. Suatu perbuatan atau tindak pidana dimungkinkan dilakukan oleh siapa saja, namun dalam suatu hal tertentu suatu perbuatan pidana hanya mungkin dilakukan ,oleh seseorang dari suatu jenis kelamin, atau golongan tertentu, maka kualifikasi atau status seseorang tersebut harus ditentukan apakah dia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan tertentu.[5][5]
Beberapa perbuatan pidana kadang kala didapatkan adanya unsur tambahan, unsur tambahan dalam hal ini diartikan sebagai suatu keadaan yang terjadinya kemudian dari pada perbuatan yang bersangkutan, yang dalam buku-buku Belanda dinamakan bijkomende voorwaarden van strafbaarheid, yaitu syarat-syarat atau unsur-unsur tambahan untuk dapat dipidananya (strafbaar) seseorang.[6][6] Karena dikatakan unsur tambahan, rasio atau alasannya untuk mengadakan syarat tersebut adalah bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan suatu hal yang menggangu ketertiban masyarakat, sehingga diperlukannya sanksi pidana. Seperti pada Pasal 351 KUHP mengenai keharusan memberikan pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut, apabila kita tidak memberikan pertolongan kemudian di mana setelahnya orang lain baru saja melakukan kejahatan, dan orang yang menjadi korban kejahatan tersebut akhirnya meninggal dunia, maka kita dapat diancam pidana.
Dari penjelasan-penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidana tersebut di atas, maka dapat disimpulkan dan disusun bahwa unsur-unsur tindak pidana yaitu:[7][7]
a.    Subjek;
b.    Kesalahan;
c.    Bersifat melawan hukum (dari tindakan);
d.    Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang­undang atau peraturan perundang-undangan, dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;
e.    Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).
Kemudian dapat disimpulkan pengertian dari tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan tersebut dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Kelima unsur tersebut dapat disederhanakan sebagai unsur-­unsur subjektif dan objektif, yang termasuk dalam kedua unsur tersebut adalah:
a.     Unsur Subjektif
Yaitu unsur-unsur yang termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk segala sesuatu yang terkandung di dalamnya, unsur-unsur subjektifnya adalah:
1)    Subjek;
2)    Kesalahan, yang terdiri dari sengaja (dolus) dan kurang hati-hati (culpa atau lalai).
b.     Unsur Objektif
Yaitu unsur-unsur yang termasuk perbuatan pidana yang ada berhubungan dengan keadaan-keadaan tindakan dari pelaku, unsur-unsur objektif dari tindak pidana adalah:

1)    Bersifat melawan hukum;
a)     Formil atau hukum yang tertulis;
b)     Materil atau hukum yang tidak tertulis.
2)    Tindakan yang dilarang serta diancam dengan Undang­undang;
3)    Faktor-faktor objektif lainnya yang mengenai sebab akibat, mulai dari tempat, waktu, dan keadaan.
Hukum pidana Indonesia dikodifikasi dalam satu buku yang bemama Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari tiga buku, yaitu:[8][8]
a.    Buku I yang memuat ketentuan-ketentuan (algemene leerstukken) yaitu ketentuan-ketentuan untuk semua tindak pidana;
b.    Buku II memuat tentang tindak pidana yang dinamakan dengan misdrijven atau kejahatan;
c.    Buku III memuat tindak pidana yang dinamakan overtredigen atau pelanggaran.

B.    Hukum Pidana Ekonomi
1.      Latar Belakang Hukum Pidana Ekonomi
Hukum Pidana Ekonomi merupakan suatu kata yang
dirangkai menjadi satu yaitu Hukum Pidana Ekonomi.[9][9] Rangkaian pertama yaitu hukum pidana yang merupakan suatu bagian dari hukum. Pompe menjelaskan bahwa hukum pidana dilukiskan sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana, dan di mana pidana itu seharusnya terdapat.[10][10] Sedangkan hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana, yang merupakan corak-corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi. Ekonomi atau ilmu yang mempelajari manusia tentang usahanya, tindakan-tindakannya, untuk mencapai kemakmuran.[11][11]Untuk menggambarkan koneksitas antara hukum pidana
dan ekonomi, tidak cukup dengan melukiskan apakah ilmu
ekonomi itu saja. Ada banyak sekali faktor yang turut ambil
peranan dalam mengejar kemakmuran tersebut, maka untuk
mencapai hasil yang sebesar-besamya, sesuai alam kenyataan,
manusia perlu pula memperhatikan segala faktor tersebut.
Jadi faktor-faktor yang bukan ekonomi sifatnya itu dengan
berpedoman kepada teori ekonomi, dipelajari dan diperhatikan
pula. Hal inilah yang disebut politik ekonomi. Kalau ilmu ekonomi
itu hendak dipelajari sebagai ilmu yang murni, artinya faktor-faktor yang bukan ekonomi sifatnya dijauhkan dalam pikiran kita, maka ilmu ekonomi dan politik itu dengan sendirinya terletak di dua daerah yang berlainan. Teori ekonomi yang menjadi pedoman politik ekonomi menjadi pelaksana, demikian Moh. Hatta.[12][12]
Politik ekonomi yang dirumuskan oleh Hebert Giersch[13][13] adalah sebagai berikut, “Politik Ekonomi (Kebijaksanaan Ekonomi) adalah semua usaha-usaha, perbuatan-perbuatan, tindakan-tindakan dengan maksud mempengaruhi atau langsung menetapkan jalannya kejadian-kejadian ekonomi dalam suatu daerah atau wilayah”. Dengan sendirinya hukum pidana ekonomi dengan alat-alat yang wajib mempertahankannya, seperti polisi, jaksa, dan hakim yang bertugas mengawal kebijaksanaan pemerintah di lapangan ekonomi, bukan saja seharusnya tahu tentang ilmu ekonomi dan ilmu politik itu, tetapi juga dalam rangka seluruh kebijaksanaan pemerintah dalam memperjuangkan kemakmuran rakyat seluruhnya hendaknya dipelajari dan diketahui pula. Dengan sendirinya hal yang belakangan ini mencakup lebih luas lagi, karena kebijaksanaan itu tedapat dari politik atau kebijaksanaan umum pemerintah. Di sini ilmu ekonomi, dengan kebenarannya yang relatif, tidak lagi mempunyai kata yang penghabisan. Pandangan hidup, ideologi negara dan berbagai pendapat politik sosial keadilan sosial, lebih besar pengaruhnya dari perhitungan ekonomi rasional. Politik ekonomi menjadi politik perekonomian.
Kesimpulan yang diambil di sini adalah bagaimana hukum pidana ekonomi seharusnya ditempatkan dalam rangka mengejar kemakmuran rakyat, dan akhirnya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Pertama kali yang dilandaskan bahwa penggunaan hukum pidana ekonomi sebaiknya baru dilakukan oleh pengusaha, apabila sanksi-sanksi bersifat ekonomi tidak mampu lagi untuk menertibkan jalannya proses ekonomi kepada jurusan yang dikehendakinya. Misalnya proses ekonomi di dalam bidang produksi dan pembentukan harga dapat dipengaruhi oleh politik moneter, pajak, subsidi, kredit, dan lain-lain. Akan tetapi apabila misalnya jarak antara supply dan deman sudah begitu jauh dan mencolok, barulah pengusaha akan mengintroduksir pengendalian harga dan distribusi barang yang terjadi suatu ketika, akibat bencana alam dan sebagainya, dan hal umum yaitu perkembangan penduduk, sehingga panen padi menciut sedemikian rupa, sehingga tidak dapat diserahkan kepada kehendak pasar saja, distribusinya perlu diatur dengan seksama.
Sajak tanggal 13 Mei 1955 telah mulai berlaku Undang­undang Nomor 7 Drt Tahun 1955[14][14] yang nama lengkapnya adalah Undang-undang tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau disingkat dengan nama Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi.[15][15] Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 dibuat semasa masih berlakunya Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950, tetapi berdasarkan Pasal 11 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar Tahun 1945, Undang-undang Darurat tersebut pada saat sekarang ini masih tetap berlaku.[16][16] Pertimbangan dibuatnya Undang-undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955, dapat diketahui kalau pembuat Undang-undang merasa perlu adanya:[17][17]
1.     Peraturan yang efektif tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan mengenai Tindak Pidana Ekonomi;
2.     Kesatuan dalam peraturan Perundang-Undangan tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan mengenai Tindak Pidana Ekonomi.

2.      Pengertian Tindak Pidana Ekonomi
Sajak berlakunya Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 pada tanggal 13 Mei 1955, oleh Pasal 1 telah diberikan suatu pengertian, yaitu bahwa yang diartikan dengan Tindak Pidana Ekonomi adalah:[18][18]
a.     Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan:
1)     Ordonantie Gecontroleerde Goederen 1948 (S NO.144 tahun 1948) sebagaimana diubah dan ditambah dengan S No. 160 tahun 1949;
2)     Prijsbeheersing-ordonantie 1948 (LN No. 4 tahun 1933);
3)     UU Penimbunan Barang-barang 1951 (LN No.4 tahun 1933);
4)     Rijsordonantie 1948 (S No. 253 tahun 1948);
5)     Undang-undang darurat tentang Kewajiban Panggilan Padi (LN No. 33 tahun 1952);
6)     Deviezen Ordonantie 1940 (S No. 205 tahun 1940).
b.     Tindak-tidak pidana tersebut dalam Pasal 26, 32 dan 33.
c.      Pelanggaran sesuai ketentuan dalam atau berdasarkan UU lain sekedar UU itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi.

Setelah diuraikan sajarah perkembangan berlakunya Undang-undang  Nomor 7 Drt Tahun 1955, maka sebagai kesimpulannya pada saat sekarang yang diartikan dengan Tindak Pidana Ekonomi hanya terbatas pada:
a.     Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan:
1)     Pasal 7, 8, dan 9 UU No. 32 Tahun 1964 terkecuali jikalau pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya atau pun tidak menaati jangka waktu yang ditetapkan untuk sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor;
2)     Rechtenordonnantie (S No. 240 Tahun 1882) sebagaimana kemudian diubah dan ditambah;
3)     Indische Scheepvaartwet (S No. 700 Tahun 1936) dan Scheepvaartverordening 1936 (S No. 703 Tahun 1936) sebagaimana kemudian diubah dan ditambah;
4)     Bedrijfreglementerings-Ordonnantie 1934 (S No. 86 tahun 1938);
5)     Kapobelangen-Ordonnantie 1945 (S No. 165 Tahun 1935);
6)     Ordonnantie Cassave-Producten 1937 (S No. 602 tahun 1937);
7)     Ordonnantie Cassave-Producten 1937 (S No. 602 Tahun 1937);
8)     Krosok-Ordonnantie 1937 (S No. 604 Tahun 1937) sebagaimana kemudian diubah dengan UU No.12 Drt Tahun 1954 (LN No. 14 Tahun 1954).
b.     Tidak-tindak pidana ekonomi seperti yang terdapat di dalam Pasal 26, 32, dan 33;
c.      Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan:
1.     UU No. 8 Prp Tahun 1962 (LN No. 42 Tahun 1962);
2.     UU No. 9 Prp Tahun 1962 (LN No. 43 Tahun 1962);
3.     UU No. 11 Tahun 1965 (LN No. 54 Tahun 1965);
Dari pengertian tindak pidana ekonomi seperti tersebut     di atas kiranya sudah jelas kalau pengertian tindak pidana ekonomi yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 adalah selalu berubah mengikuti perkembangan keadaan dan kebutuhan sesuai dengan sifat dari tindak pidana ekonomi itu sendiri.[19][19]
3.      Pembagian Tindak Pidana Ekonomi
Dari pasal 2 dapat diketahui kalau tindak pidana ekonomi itu dibagi menjadi:
a.     Kejahatan; dan
b.     Pelanggaran;
Sebab mengapa sampai tindak pidana ekonomi itu juga diadakan pembagian seperti tersebut di atas, oleh penjelasan Pasal 2 diterangkan kalau sebabnya adalah:[20][20]
a.     KUHP mengadakan perbedaan antara kejahatan dengan pelanggaran; dan
b.     Akibat yang berbeda antara kejahatan dengan pelanggaran.
Adalah : Bahwa tindak pidana ekonomi itu di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditentukan sebagai kejahatan atau pelanggaran adalah merupakan pokok ukuran atau dasar adanya pembagian tindak pidana ekonomi tersebut. Sebagai akibat dari pada ukuran atau dasar seperti tersebut di atas, maka misalnya saja meskipun tindak pidana ekonomi yang terdapat di dalam Pasal 25 Undang-undang tentang Bea telah dilakukan dengan sengaja, maka tindak pidana itu tetap merupakan pelanggaran, sebab di dalam Pasal 26 Undang-undang tentang Bea telah ditentukan kalau tindak pidana ekonomi tersebut adalah pelanggaran (overtrading).[21][21]
Di dalam peraturan perundang-udangan yang bersangkutan ternyata tidak ditentukan apakah tindak pidana ekonomi adalah kejahatan atau pelanggaran, maka selanjutnya yang harus dipergunakan sebagai ukuran atau dasar seperti yang disebutkan di bawah ini.[22][22]
Adalah:
Jika tindak pidana ekonomi itu dilakukan dengan sengaja, maka tindak pidana ekonomi itu adalah kejahatan. Apabila tindak pidana ekonomi itu dilakukan dengan tidak sengaja, maka tindak pidana ekonomi itu adalah pelanggaran.[23][23]

4.      Daerah Berlakunya UU No. 7 Drt Tahun 1955
Pasal 2 KUHP yang menentukan: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia”, maka di situ sudah jelas diatur mengenai berlakunya asas teritorial.[24][24] Di sini yang menjadi ukuran adalah tindak pidana yang dilakukannya itu haruslah masih berada di dalam wilayah Negara RI. Seseorang dapat dipersalahkan dalam suatu tindak pidana yang dilakukan di Indonesia, sedangkan ia sebenar-benarnya berada di luar negeri, jika ia dengan suatu alat penghubung atau perantara melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk terjadinya tindak pidana tersebut.[25][25]





ANALISIS HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA KORPORASI
YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA

A.     Penjatuhan Pidana Terhadap Tanggung jawab Korporasi Yang Menjual Makanan Kadaluarsa.
Perkara peredaran makanan kadaluwarsa di pasaran masih banyak, sehingga banyak juga pihak-pihak yang dirugikan, baik secara meteril maupun dirugikan kesehatannya. Apabila melihat kewenangan lembaga atau badan yang khusus menangani peredaran makanan yaitu adalah badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), tetapi seiring waktu jumlah perkara peredaran makanan kadaluwarsa tidak kunjung surut. Maka banyak orang beranggapan bahwa BPOM tidak menjalankan tugasnya dengan baik atau dengan kata lain tidak berfungsi lagi.
Setelah melihat pemberitaan-pemberitaan mengenai peredaran makanan kadaluwarsa dari beberapa media, baik media cetak maupun media elektronik, dapat diketahui bahwa penyelesaian yang dilakukan oleh BPOM terhadap perkara peredaran makanan kadaluwarsa hanya sebatas mengambil tindakan yang berupa merampas makanan-­makanan kadaluwarsa tersebut dari pasaran, kemudian dimusnahkan. Dari tindakan yang diambil oleh BPOM tersebut sifatnya hanyalah sebatas memutus rantai atau menyetop peredaran makanan kadaluwarsa, tetapi tidak memperhatikan korban-korban yang ditimbulkan akibat peredaran makanan kadaluwarsa yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari korporasi yang menjual makanan kadaluwarsa tersebut.




[1][1]Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hlm. 59.
[2][2]E.R. Kanter, S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hlm. 204.

[3][3]Ibid, hlm. 205.

[4][4] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hlm. 86.

[5][5]Ibid, hlm. 65.

[6][6] Ibid. hlm. 65.
[7][7] E.R. Kanter, S.R. Siantud, Op.Cit., hlm. 211.
[8][8]Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, op.cit. hlm. 4
[9][9]Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 1996, hlm. 1.
[10][10] Pompe, W.PI, Hapboek Van Het Nederlands Strafrecht, 1959, hlm. 3, dikutip oleh Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 1996, hlm.1
[11][11]Ibid. hlm. 1.

[12][12]Moch. Hatta, Teori Politik dan Orde Ekonomi, Jakarta: Tinta Mas, 1966, hlm. 18 dan 19, dikutip oleh Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 1996, hlm. 3.
[13][13]Hebert Giersch, Allgemeine Wirtschaftspoltic Grundlagen. Betriewirschaftlicher Verla, Dr. Th. Gabler Wisbaden, 1961, Terjemahan Dr. rer. Pol. R. A.K. Samik Ibrahim dan Dipl. Rer.pol. Nadosjah Tamin: Politik Ekonomi, dikutip oleh Andi Hamzah, Hukum Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 1996, hlm. 3.

[14][14]R. Wiyono, Pengantar Tindak Pidana Ekonomi Indonesia, Bandung Alumni: 1975, hlm.1.
[15][15] Ibid.
[16][16] R. Wiyono, op-cit, hlm.18.
[17][17] Ibid.
[18][18] Ibid. hlm. 4.
[19][19] Ibid.
[20][20]Suprapto, Hukum Pidana Ekonomi, hlm. 28, dikutip oleh R. Wiyono, Pengantar Tindak Pidana Ekonomi Indonesia, Bandung: Alumni, 1975, hlm. 16.

[21][21]Suprapto, Hukum Pidana Ekonomi, hlm. 30, dikutip oleh R. Wiyono, Pengantar Tindak Pidana Ekonomi Indonesia, Bandung: Alumni, 1975, hlm. 18.
[22][22] Ibid. hlm. 19
[23][23] Ibid
[24][24] E. Utrecht, Hukum Pidana 1, hlm. 230, dikutip oleh R. Wiyono, op.cit. hlm. 21.
[25][25]Ibid. hlm. 231-232.

 Jika Anda membutuhkan Bahan-bahan ini silahkan Hubungi :
085624223254    

Ditulis Oleh : Unknown ~ Berbagi Design Blogger

Sobat sedang membaca artikel tentang Tanggungjawab pidana korporasi. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebarluaskan artikel ini, tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar bijak Anda sangat di nantikan ..Terimakasih.Salam Sukses...

get this widget
Memuat...


Daftar Artikel Gratis

Berlangganan Gratis



 
Support : Fahrezanugraha | Alifa Firmansyah | Team Creatif
Copyright © 2013. Skripsi, Karya Tulis Ilmiah dan bahan Tayang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger