TANGGUNG JAWAB PIDANA KORPORASI YANG
MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh :
Drs. Nanang Nugraha,
SH., M.Si.
Aspek hukum tindak pidana ekonomi
terhadap tindak pidana korporasi yang menjual makanan
yang telah kadaluWarsa
A.
Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana
1.
Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana sering juga disebut dengan delik,
istilah delik atau delict sendiri
berasal dari bahasa latin delictum,
namun dalam hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit. Istilah tersebut merupakan resmi yang digunakan
dalam strafwetboek atau Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sampai saat ini masih berlaku dan masih
digunakan sampai sekarang.[1][1] Ada banyak istilah strafbaar feit yang diartikan dalam
bahasa Indonesia, di antaranya diartikan sebagai perbuatan yang dapat atau
boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.[2][2]
Namun dalam menerjemahkan dalam bahasa
Indonesia, istilah strafbaar feit
diartikan berbeda-beda oleh para pakar hukum, baik oleh pakar hukum dari
Indonesia maupun oleh pakar hukum dari barat. Para sarjana hukum barat
memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai istilah strafbaar feit, antara lain sebagai berikut:[3][3]
a. Menurut SIMONS
Menurut SIMONS, een strafbaar feit adalah suatu tindakan atau perbuatan
(handeling) yang
diancam dengan pidana oleh undang-undang, yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig), dan dilakukan dengan kesalahan (schuld)
oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Dari pengertian een strafbar
feit tersebut SIMONS
membagi dalam dua golongan unsur, yaitu unsur-unsur objektif yang berupa
tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat keadaan atau masalah tertentu,
dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan
bertanggung jawab (toerekenings vatbaar) dari petindak.
b. Menurut VAN HAMEL
Menurut VAN HAMEL, strafbaar feit adalah suatu tindakan atau perbuatan
yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, yang bertentangan dengan hukum,
dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang bertanggung jawab, dan tindakan mana
bersifat dapat dipidana.
c. Menurut VOS
Menurut VOS, strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging)
manusia yang dilarang, dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
d. Menurut POMPE
Menurut POMPE, strafbaar feit adalah
pelanggaran
kaidah atau
menggangu ketertiban hukum, terhadap pelaku
yang
mempunyai kesalahan untuk pemidanaan adalah wajar, untuk menyelenggarakan
ketertiban hukum dan menjamin kesajahteraan umum.
Ada juga istilah stratbaar feit yang
diterjemahkan oleh sarjana-sarjana hukum dari Indonesia, antara lain Moeljatno
dan Roeslan Saleh. Moeljatno dan Roeslan Saleh tidak menerjemahkan istilah stratbaar
feit secara langsung dan mereka lebih suka memakai istilah perbuatan
pidana. Moeljatno tidak suka menggunakan istilah peristiwa pidana dikarenakan
suatu peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit yang hanya menunjuk kepada
suatu kejadian tertentu saja, seperti matinya seseorang, hukum pidana tidak
melarang orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang
lain.[4][4]
2.
Unsur-unsur
Tindak Pidana
Setiap perbuatan pidana haruslah terdiri
dari unsur-unsur yang merupakan fakta dari perbuatan yang dilakukan pelaku
tindak pidana, dan apabila semua unsur tindak pidana terbukti dilakukan oleh
pelaku tindak pidana, maka pelaku tindak pidana tersebut dapat dipidana yang
jenis dan besaran pidananya telah diatur oleh KUHP atau oleh peraturan
perundang-undangan pidana khusus lainnya sesuai yang dengan perbuatan yang
telah dilakukan pelaku tindak pidana tersebut. Suatu perbuatan atau tindak
pidana dimungkinkan dilakukan oleh siapa saja, namun dalam suatu hal tertentu
suatu perbuatan pidana hanya mungkin dilakukan ,oleh seseorang dari suatu jenis
kelamin, atau golongan tertentu, maka kualifikasi atau status seseorang
tersebut harus ditentukan apakah dia salah seorang dari “barang siapa”, atau
seseorang dari suatu golongan tertentu.[5][5]
Beberapa perbuatan pidana kadang kala
didapatkan adanya unsur tambahan, unsur tambahan dalam hal ini diartikan
sebagai suatu keadaan yang terjadinya kemudian dari pada perbuatan yang
bersangkutan, yang dalam buku-buku Belanda dinamakan bijkomende voorwaarden
van strafbaarheid, yaitu
syarat-syarat atau unsur-unsur tambahan untuk dapat dipidananya (strafbaar)
seseorang.[6][6]
Karena dikatakan unsur tambahan, rasio atau alasannya untuk mengadakan syarat
tersebut adalah bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak
cukup merupakan suatu hal yang menggangu ketertiban masyarakat, sehingga
diperlukannya sanksi pidana. Seperti pada Pasal 351 KUHP mengenai keharusan
memberikan pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut, apabila
kita tidak memberikan pertolongan kemudian di mana setelahnya orang lain baru
saja melakukan kejahatan, dan orang yang menjadi korban kejahatan tersebut
akhirnya meninggal dunia, maka kita dapat diancam pidana.
Dari penjelasan-penjelasan mengenai
unsur-unsur tindak pidana tersebut di atas, maka dapat disimpulkan dan disusun
bahwa unsur-unsur tindak pidana yaitu:[7][7]
a. Subjek;
b. Kesalahan;
c. Bersifat
melawan hukum (dari tindakan);
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang
atau peraturan perundang-undangan, dan terhadap pelanggarnya diancam dengan
pidana;
e. Waktu,
tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).
Kemudian dapat disimpulkan pengertian
dari tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu, dan keadaan
tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan tersebut
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Kelima unsur tersebut dapat
disederhanakan sebagai unsur-unsur subjektif dan objektif, yang termasuk dalam
kedua unsur tersebut adalah:
a.
Unsur Subjektif
Yaitu
unsur-unsur yang termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang melekat pada
diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk segala
sesuatu yang terkandung di dalamnya, unsur-unsur subjektifnya adalah:
1)
Subjek;
2)
Kesalahan, yang terdiri dari sengaja (dolus)
dan kurang hati-hati (culpa atau
lalai).
b.
Unsur Objektif
Yaitu
unsur-unsur yang termasuk perbuatan pidana yang ada berhubungan dengan
keadaan-keadaan tindakan dari pelaku, unsur-unsur objektif dari tindak pidana
adalah:
1)
Bersifat melawan hukum;
a)
Formil atau hukum yang tertulis;
b)
Materil atau hukum yang tidak tertulis.
2) Tindakan yang dilarang serta diancam dengan Undangundang;
3) Faktor-faktor objektif lainnya yang mengenai sebab akibat,
mulai dari tempat, waktu, dan keadaan.
Hukum pidana Indonesia dikodifikasi
dalam satu buku yang bemama Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang
terdiri dari tiga buku, yaitu:[8][8]
a. Buku I yang memuat ketentuan-ketentuan (algemene
leerstukken) yaitu
ketentuan-ketentuan untuk semua tindak pidana;
b. Buku II memuat tentang tindak pidana yang dinamakan dengan misdrijven atau kejahatan;
c. Buku III memuat tindak pidana yang dinamakan overtredigen atau
pelanggaran.
B. Hukum
Pidana Ekonomi
1.
Latar Belakang Hukum Pidana Ekonomi
Hukum Pidana Ekonomi merupakan suatu
kata yang
dirangkai menjadi satu yaitu Hukum Pidana Ekonomi.[9][9] Rangkaian pertama yaitu hukum pidana yang merupakan suatu bagian dari hukum. Pompe menjelaskan bahwa hukum pidana dilukiskan sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana, dan di mana pidana itu seharusnya terdapat.[10][10] Sedangkan hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana, yang merupakan corak-corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi. Ekonomi atau ilmu yang mempelajari manusia tentang usahanya, tindakan-tindakannya, untuk mencapai kemakmuran.[11][11]Untuk menggambarkan koneksitas antara hukum pidana
dan ekonomi, tidak cukup dengan melukiskan apakah ilmu
ekonomi itu saja. Ada banyak sekali faktor yang turut ambil
peranan dalam mengejar kemakmuran tersebut, maka untuk
mencapai hasil yang sebesar-besamya, sesuai alam kenyataan,
manusia perlu pula memperhatikan segala faktor tersebut.
Jadi faktor-faktor yang bukan ekonomi sifatnya itu dengan
berpedoman kepada teori ekonomi, dipelajari dan diperhatikan
pula. Hal inilah yang disebut politik ekonomi. Kalau ilmu ekonomi
itu hendak dipelajari sebagai ilmu yang murni, artinya faktor-faktor yang bukan ekonomi sifatnya dijauhkan dalam pikiran kita, maka ilmu ekonomi dan politik itu dengan sendirinya terletak di dua daerah yang berlainan. Teori ekonomi yang menjadi pedoman politik ekonomi menjadi pelaksana, demikian Moh. Hatta.[12][12]
dirangkai menjadi satu yaitu Hukum Pidana Ekonomi.[9][9] Rangkaian pertama yaitu hukum pidana yang merupakan suatu bagian dari hukum. Pompe menjelaskan bahwa hukum pidana dilukiskan sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana, dan di mana pidana itu seharusnya terdapat.[10][10] Sedangkan hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana, yang merupakan corak-corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi. Ekonomi atau ilmu yang mempelajari manusia tentang usahanya, tindakan-tindakannya, untuk mencapai kemakmuran.[11][11]Untuk menggambarkan koneksitas antara hukum pidana
dan ekonomi, tidak cukup dengan melukiskan apakah ilmu
ekonomi itu saja. Ada banyak sekali faktor yang turut ambil
peranan dalam mengejar kemakmuran tersebut, maka untuk
mencapai hasil yang sebesar-besamya, sesuai alam kenyataan,
manusia perlu pula memperhatikan segala faktor tersebut.
Jadi faktor-faktor yang bukan ekonomi sifatnya itu dengan
berpedoman kepada teori ekonomi, dipelajari dan diperhatikan
pula. Hal inilah yang disebut politik ekonomi. Kalau ilmu ekonomi
itu hendak dipelajari sebagai ilmu yang murni, artinya faktor-faktor yang bukan ekonomi sifatnya dijauhkan dalam pikiran kita, maka ilmu ekonomi dan politik itu dengan sendirinya terletak di dua daerah yang berlainan. Teori ekonomi yang menjadi pedoman politik ekonomi menjadi pelaksana, demikian Moh. Hatta.[12][12]
Politik ekonomi yang dirumuskan oleh
Hebert Giersch[13][13]
adalah sebagai berikut, “Politik Ekonomi (Kebijaksanaan Ekonomi) adalah semua
usaha-usaha, perbuatan-perbuatan, tindakan-tindakan dengan maksud mempengaruhi
atau langsung menetapkan jalannya kejadian-kejadian ekonomi dalam suatu daerah
atau wilayah”. Dengan sendirinya hukum pidana ekonomi dengan alat-alat yang
wajib mempertahankannya, seperti polisi, jaksa, dan hakim yang bertugas
mengawal kebijaksanaan pemerintah di lapangan ekonomi, bukan saja seharusnya
tahu tentang ilmu ekonomi dan ilmu politik itu, tetapi juga dalam rangka
seluruh kebijaksanaan pemerintah dalam memperjuangkan kemakmuran rakyat
seluruhnya hendaknya dipelajari dan diketahui pula. Dengan sendirinya hal yang
belakangan ini mencakup lebih luas lagi, karena kebijaksanaan itu tedapat dari
politik atau kebijaksanaan umum pemerintah. Di sini ilmu ekonomi, dengan
kebenarannya yang relatif, tidak lagi mempunyai kata yang penghabisan.
Pandangan hidup, ideologi negara dan berbagai pendapat politik sosial keadilan
sosial, lebih besar pengaruhnya dari perhitungan ekonomi rasional. Politik
ekonomi menjadi politik perekonomian.
Kesimpulan yang diambil di sini adalah
bagaimana hukum pidana ekonomi seharusnya ditempatkan dalam rangka mengejar
kemakmuran rakyat, dan akhirnya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Pertama
kali yang dilandaskan bahwa penggunaan hukum pidana ekonomi sebaiknya baru
dilakukan oleh pengusaha, apabila sanksi-sanksi bersifat ekonomi tidak mampu
lagi untuk menertibkan jalannya proses ekonomi kepada jurusan yang
dikehendakinya. Misalnya proses ekonomi di dalam bidang produksi dan
pembentukan harga dapat dipengaruhi oleh politik moneter, pajak, subsidi,
kredit, dan lain-lain. Akan tetapi apabila misalnya jarak antara supply
dan deman sudah begitu jauh dan mencolok, barulah pengusaha akan
mengintroduksir pengendalian harga dan distribusi barang yang terjadi suatu
ketika, akibat bencana alam dan sebagainya, dan hal umum yaitu perkembangan
penduduk, sehingga panen padi menciut sedemikian rupa, sehingga tidak dapat
diserahkan kepada kehendak pasar saja, distribusinya
perlu diatur dengan seksama.
Sajak tanggal 13 Mei
1955 telah mulai berlaku Undangundang Nomor 7 Drt Tahun 1955[14][14]
yang nama lengkapnya adalah Undang-undang
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau
disingkat dengan nama Undang-undang
Tindak Pidana Ekonomi.[15][15]
Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 dibuat semasa masih berlakunya
Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950, tetapi berdasarkan Pasal 11 Aturan
Peralihan Undang-undang Dasar Tahun 1945, Undang-undang Darurat tersebut pada
saat sekarang ini masih tetap berlaku.[16][16]
Pertimbangan dibuatnya Undang-undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955, dapat
diketahui kalau pembuat Undang-undang merasa perlu adanya:[17][17]
1.
Peraturan yang
efektif tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan mengenai Tindak
Pidana Ekonomi;
2.
Kesatuan dalam peraturan Perundang-Undangan
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan mengenai Tindak Pidana Ekonomi.
2.
Pengertian Tindak Pidana Ekonomi
Sajak berlakunya Undang-undang Nomor 7
Drt Tahun 1955 pada tanggal 13 Mei 1955, oleh Pasal 1 telah diberikan suatu
pengertian, yaitu bahwa yang diartikan dengan Tindak Pidana Ekonomi adalah:[18][18]
a. Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau
berdasarkan:
1) Ordonantie Gecontroleerde Goederen 1948 (S
NO.144 tahun
1948) sebagaimana diubah dan
ditambah dengan S No. 160 tahun 1949;
2) Prijsbeheersing-ordonantie 1948 (LN No. 4 tahun 1933);
3) UU Penimbunan Barang-barang 1951 (LN
No.4 tahun 1933);
4) Rijsordonantie 1948 (S No. 253 tahun 1948);
5) Undang-undang
darurat tentang Kewajiban Panggilan Padi (LN No. 33 tahun 1952);
6) Deviezen Ordonantie 1940 (S No. 205 tahun 1940).
b. Tindak-tidak pidana tersebut dalam Pasal 26, 32 dan 33.
c. Pelanggaran sesuai ketentuan dalam atau
berdasarkan UU lain sekedar UU itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak
pidana ekonomi.
Setelah diuraikan sajarah perkembangan berlakunya
Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955, maka sebagai kesimpulannya pada
saat sekarang yang diartikan dengan Tindak Pidana Ekonomi hanya terbatas pada:
a. Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan:
1) Pasal 7, 8, dan 9 UU No. 32 Tahun 1964 terkecuali jikalau
pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya atau
pun tidak menaati jangka waktu yang ditetapkan untuk sesuatu perbuatan dalam
penyelenggaraan ekspor;
2) Rechtenordonnantie (S No. 240 Tahun 1882) sebagaimana kemudian
diubah dan ditambah;
3) Indische Scheepvaartwet (S No. 700 Tahun 1936) dan Scheepvaartverordening 1936 (S No. 703 Tahun 1936) sebagaimana
kemudian diubah dan ditambah;
4) Bedrijfreglementerings-Ordonnantie 1934 (S No. 86 tahun 1938);
5) Kapobelangen-Ordonnantie 1945 (S No. 165 Tahun 1935);
6) Ordonnantie Cassave-Producten 1937 (S No. 602 tahun 1937);
7) Ordonnantie Cassave-Producten 1937 (S No. 602 Tahun 1937);
8) Krosok-Ordonnantie 1937 (S No. 604 Tahun 1937) sebagaimana
kemudian diubah dengan UU No.12 Drt Tahun 1954 (LN No. 14
Tahun 1954).
b. Tidak-tindak pidana ekonomi seperti yang
terdapat di dalam Pasal 26, 32, dan 33;
c. Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan:
1. UU No. 8 Prp Tahun 1962 (LN No. 42 Tahun 1962);
2. UU No. 9 Prp Tahun 1962 (LN No. 43 Tahun 1962);
3. UU No. 11 Tahun 1965 (LN No. 54
Tahun 1965);
Dari pengertian tindak pidana ekonomi
seperti tersebut di atas kiranya sudah jelas kalau
pengertian tindak pidana ekonomi yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 7 Drt
Tahun 1955 adalah selalu berubah mengikuti perkembangan keadaan dan kebutuhan
sesuai dengan sifat dari tindak pidana ekonomi itu sendiri.[19][19]
3.
Pembagian
Tindak Pidana Ekonomi
Dari pasal 2 dapat diketahui kalau
tindak pidana ekonomi itu dibagi menjadi:
a.
Kejahatan; dan
b.
Pelanggaran;
Sebab mengapa sampai tindak pidana
ekonomi itu juga diadakan pembagian seperti tersebut di atas, oleh penjelasan
Pasal 2 diterangkan kalau sebabnya adalah:[20][20]
a. KUHP mengadakan perbedaan antara
kejahatan dengan pelanggaran; dan
b. Akibat yang berbeda antara kejahatan
dengan pelanggaran.
Adalah : Bahwa tindak pidana ekonomi itu
di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditentukan sebagai
kejahatan atau pelanggaran adalah merupakan pokok ukuran atau dasar adanya
pembagian tindak pidana ekonomi tersebut. Sebagai akibat dari pada ukuran atau
dasar seperti tersebut di atas, maka misalnya saja meskipun tindak pidana ekonomi yang
terdapat di dalam Pasal 25 Undang-undang tentang Bea telah dilakukan dengan
sengaja, maka tindak pidana itu tetap merupakan pelanggaran, sebab di dalam
Pasal 26 Undang-undang tentang Bea telah ditentukan kalau tindak pidana ekonomi
tersebut adalah pelanggaran (overtrading).[21][21]
Di dalam peraturan perundang-udangan
yang bersangkutan ternyata tidak ditentukan apakah tindak pidana ekonomi adalah
kejahatan atau pelanggaran, maka selanjutnya yang harus dipergunakan sebagai
ukuran atau dasar seperti yang disebutkan di bawah ini.[22][22]
Adalah:
Jika tindak pidana ekonomi itu dilakukan
dengan sengaja, maka tindak pidana ekonomi itu adalah kejahatan. Apabila tindak
pidana ekonomi itu dilakukan dengan tidak sengaja, maka tindak pidana ekonomi
itu adalah pelanggaran.[23][23]
4.
Daerah Berlakunya UU No. 7 Drt Tahun 1955
Pasal 2 KUHP yang menentukan: “Aturan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di
Indonesia”, maka di situ sudah jelas
diatur mengenai berlakunya asas teritorial.[24][24]
Di sini yang menjadi ukuran adalah tindak pidana yang dilakukannya itu haruslah masih berada di
dalam wilayah Negara RI. Seseorang dapat dipersalahkan dalam suatu tindak
pidana yang dilakukan di Indonesia, sedangkan ia sebenar-benarnya berada di
luar negeri, jika ia dengan suatu alat penghubung atau perantara melakukan
segala sesuatu yang diperlukan untuk terjadinya tindak pidana tersebut.[25][25]
ANALISIS HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA KORPORASI
YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA
A.
Penjatuhan Pidana Terhadap Tanggung jawab
Korporasi Yang Menjual Makanan Kadaluarsa.
Perkara
peredaran makanan kadaluwarsa di pasaran masih banyak, sehingga banyak juga
pihak-pihak yang dirugikan, baik secara meteril maupun dirugikan kesehatannya.
Apabila melihat kewenangan lembaga atau badan yang khusus menangani peredaran
makanan yaitu adalah badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), tetapi seiring
waktu jumlah perkara peredaran makanan kadaluwarsa tidak kunjung surut. Maka
banyak orang beranggapan bahwa BPOM tidak menjalankan tugasnya dengan baik atau
dengan kata lain tidak berfungsi lagi.
Setelah
melihat pemberitaan-pemberitaan mengenai peredaran makanan kadaluwarsa dari
beberapa media, baik media cetak maupun media elektronik, dapat diketahui bahwa
penyelesaian yang dilakukan oleh BPOM terhadap perkara peredaran makanan
kadaluwarsa hanya sebatas mengambil tindakan yang berupa merampas makanan-makanan
kadaluwarsa tersebut dari pasaran, kemudian dimusnahkan. Dari tindakan yang
diambil oleh BPOM tersebut sifatnya hanyalah sebatas memutus rantai atau
menyetop peredaran makanan kadaluwarsa, tetapi tidak memperhatikan
korban-korban yang ditimbulkan akibat peredaran makanan kadaluwarsa yang
seharusnya menjadi tanggung jawab dari korporasi yang menjual makanan
kadaluwarsa tersebut.
[1][1]Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas
Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hlm. 59.
[2][2]E.R. Kanter, S.R.
Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hlm.
204.
[3][3]Ibid, hlm.
205.
[4][4] Andi Hamzah, Asas-asas
Hukum Pidana, Jakarta:
Rineka Cipta, 2008, hlm. 86.
[5][5]Ibid, hlm. 65.
[6][6] Ibid. hlm. 65.
[8][8]Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia,
Bandung: Refika Aditama, 2003, op.cit.
hlm. 4
[9][9]Andi Hamzah, Hukum Pidana
Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 1996,
hlm. 1.
[10][10] Pompe, W.PI, Hapboek Van Het Nederlands
Strafrecht, 1959, hlm. 3,
dikutip oleh Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 1996, hlm.1
[11][11]Ibid. hlm. 1.
[12][12]Moch. Hatta, Teori
Politik dan Orde Ekonomi, Jakarta: Tinta Mas, 1966, hlm. 18 dan 19, dikutip oleh Andi
Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Jakarta:
Erlangga, 1996, hlm. 3.
[13][13]Hebert Giersch, Allgemeine
Wirtschaftspoltic Grundlagen. Betriewirschaftlicher Verla, Dr. Th. Gabler Wisbaden, 1961,
Terjemahan Dr. rer. Pol. R. A.K. Samik
Ibrahim dan Dipl. Rer.pol.
Nadosjah Tamin: Politik Ekonomi, dikutip oleh Andi Hamzah, Hukum
Ekonomi, Jakarta: Erlangga,
1996, hlm. 3.
[14][14]R. Wiyono, Pengantar
Tindak Pidana Ekonomi Indonesia, Bandung
Alumni: 1975, hlm.1.
[20][20]Suprapto, Hukum
Pidana Ekonomi, hlm. 28,
dikutip oleh R. Wiyono, Pengantar Tindak
Pidana Ekonomi Indonesia,
Bandung: Alumni, 1975, hlm. 16.
[21][21]Suprapto, Hukum
Pidana Ekonomi, hlm. 30,
dikutip oleh R. Wiyono, Pengantar Tindak Pidana Ekonomi Indonesia, Bandung: Alumni, 1975, hlm. 18.
[24][24] E. Utrecht, Hukum
Pidana 1, hlm. 230, dikutip
oleh R. Wiyono, op.cit. hlm.
21.
Ditulis Oleh : Unknown ~ Berbagi Design Blogger
Sobat sedang membaca artikel tentang Tanggungjawab pidana korporasi. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebarluaskan artikel ini, tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar bijak Anda sangat di nantikan ..Terimakasih.Salam Sukses...