Home » » STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) DAN PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH

STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) DAN PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH

Written By Unknown on Kamis, 03 Januari 2013 | 20.00

Pendahuluan
Pelaksanaan pelayanan publik gratis pada akhir-akhir ini yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Purwakarta sebagai permulaan pemberlakuan standar pelayanan minimal (SPM) untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Ada empat macam pelayanan yang diutamakan dalam bulan pelayanan publik nantinya, yaitu : menyangkut pengurusan ijin mendirikan bangunan (IMB), kartu tanda penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan akta kelahiran, Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat sudah mulai menerapkan SPM dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Mengapa SPM ?,  SPM dianggap sebagai tindakan yang logis bagi Pemerintah Daerah karena beberapa alasan.
Pertama, didasarkan kemampuan daerahnya masing-masing, maka sulit bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan semua kewenangan/fungsi yang ada. Keterbatasan dana, sumberdaya aparatur, kelengkapan, dan faktor lainnya membuat Pemerintah Daerah harus mampu menentukan jenis-jenis pelayanan yang minimal harus disediakan bagi masyarakat.
Kedua, dengan munculnya SPM memungkinkan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan kegiatannya secara “lebih terukur”.
Ketiga, dengan SPM yang disertai tolok ukur pencapaian kinerja yang logis dan riil akan memudahkan bagi masyarakat untuk memantau kinerja aparatnya.
Permasalahan
Bagaimanakah Standar Pelayanan Publik Yang Harus dibuat dalam era otonomi daerah ?               
Pembahasan
Secara umum fungsi-fungsi pemerintahan (daerah) dapat digolongkan dalam 4 pengelompokkan yaitu : penyediaan pelayanan, pengaturan, pembangunan, dan perwakilan. Fungsi penyediaan pelayanan-pelayanan berorientasi pada lingkungan dan kemasyarakatan. Pelayanan lingkungan mencakup antara lain jalan-jalan daerah, penerangan jalan, pembuangan sampah, saluran air limbah, pencegahan banjir, pemeliharaan taman dan tempat rekreasi. Selain itu pelayanan medik dan kesehatan juga merupakan pelayanan minimal disamping sarana dan pendidikan. Di Malaysia pendidikan bagi masyarakat umum sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah pusat. Adapun di Indonesia, pendidikan masih menjadi hal yang dianggap mahal, karena pembiayaan pendidikan sebagian besar masih ditanggung oleh masyarakat. Fungsi pengaturan menyangkut perumusan dan menegakkan (enforce) peraturan-peraturan. Sementara pertahanan dan angkatan bersenjata selalu menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat, penyelenggaraan ketertiban umum seringkali dilimpahkan kepada daerah.
Penyusunan SPM Kabupaten/Kota
Dengan mempertimbangkan keberadaan berbagai tingkatan pemerintahan di Indonesia, maka pihak yang sangat mendesak membutuhkan SPM adalah pihak pemerintah kabupaten/kota. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten/kota. Konsekwensinya, daerah kabupaten/kota mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Kedua, dibandingkan posisi propinsi maupun pusat, maka posisi kabupaten/kota paling dekat dengan masyarakat. Sehingga tuntutan pelayanan publik akan lebih diarahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Ketiga, dengan tuntutan masayarakat yang bias langsung disampaikan, maka pemerintah daerah kabupaten/kota dituntut pula untuk menyediakan berbagai jenis pelayanan bagi masyarakat daerahnya masing-masing.
Dalam rangka menyusun Standar Pelayanan Minimal (SPM), paling tidak dibutuhkan beberapa tahapan, yang terurai dalam bagan alir seperti berikut.




Bagan 1: Teknik Penyusunan Standar Pelayanan Minimal
Kebutuhan Masy
akan jenis-jenis
Pelayanan tertentu

Identifikasi kewenangan daerah


Melihat Kemampuan
Daerah (SDM, Tekno,
Perlengkapan, dsb)

SPM + Indikator
Pencapaian Kinerja

Identifikasi
Kew. Daerah

 







      
 Output                                 Output

Daftar Kew. Da
(long list)

Daftar Kew. Da
(long list)

 
     

Short-list kewenangan/fungsi tersebut secara logis tentu tidak bias diselenggarakan secara menyeluruh pada waktu bersamaan. Oleh sebab itu, didasarkan pada kriteria seperti: pengukuran kebutuhan masyarakat akan pelayanan-pelayanan mendasar , terukur, terus menerus, dan berorientasi pada output yang dirasakan masyarakat, serta mungkin untuk dikerjakan, maka disusunlah standar pelayanan minimal. Hasil akhir dari tahapan-tahapantersebut adalah munculnya daftar kewenangan/fungsi yang menjadi dasar bagi terselenggaranya SPM disertai dengan tolok ukur pencapaian kinerja. Tolok ukur tersebut bisa memuat indikator-indikator seperti:
1. input (masukan)
Bagaimana tingkatan atau besaran sumber-sumber yang digunakan, seperti sumberdaya manusia, dana, material, waktu, teknologi, dan sebagainya.
2. output (keluaran)
Bagaimana bentuk produk yang dihasilkan langsung oleh kebijakan atau program berdasarkan masukan (input) yang digariskan.
3. outcome (hasil)
Bagaimana tingkat pencapaian kinerja yang diharapkan terwujud berdasarkan keluaran (output) kebijakan atau program yang sudah dilaksanakan.
4. benefit (manfaat)
Bagaimana tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat maupun pemerintah daerah
5. impact (dampak)
Bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai berdasarkan manfaat yang dihasilkan Tolok ukur pencapaian kinerja sangat penting untuk disertakan, agar masing-masing unit organisasi pelaksana dari kewenangan/fungsi dalam bidang tertentu dapat mengukur dirinya sendiri apakah sudah berhasil melaksanakan tugasnya atau belum. Di sisi lain, dengan ukuran kinerja yang jelas, publik atau masyarakat juga bisa memantau kinerja unit organisasi tersebut. Karena dengan transparansi pengukuran juga menggambarkan akuntabilitas unit organisasi tersebut pada publik. Bentuk akuntabilitas dalam aspek pelayanan publik harus memuat beberapa hal seperti:
-       Adanya rumusan standar kualitas yang jelas dan disosialisasikan kepada masyarakat
-       Adanya sistem penanganan keluhan yang responsive
-       Adanya ganti rugi yang diberikan kepada klien atau pengguna jasa apabila mereka tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah
-       Adanya lembaga banding apabila terjadi konflik antara klien dengan aparat pelaksana pelayanan public Dengan menerapkan sistem akuntabilitas di dalam pelayanan publik, maka sekali lagi pemerintah daerah akan ditempatkan pada posisi yang setiap saat dapat dievaluasi kinerjanya, dikoreksi dan disempurnakan, dan dipertanggungjawabkan tidak saja ke dalam organisasi pemerintah daerah tetapi juga ke publik.
Pelimpahan Fungsi Pelayanan Pada Kecamatan dan Kelurahan
Kebijakan baru tentang otonomi daerah di Indonesia (dengan lahirnya UU No.22 dan 25 Tahun 1999) memberikan implikasi sangat luas terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Implikasi tersebut tidak saja menyentuh pada besarnya kewenangan daerah, tetapi juga pada kelembagaan dan kepegawaian daerah. Jika kewenangan yang dilaksanakan
Daerah berubah (meluas) maka kelembagaan Daerah juga berubah untuk mewadahi kewenangan yang ada. Organisasi harus didesain sedemikian rupa agar kewenangan-kewenangan yang luas tersebut dapat dilaksanakan secara maksimal. Selanjutnya formasi pegawai juga berubah sesuai dengan tuntutan organisasi ataupun kelembagaan yang dibentuk. Perubahan yang cukup mendasar terjadi pula pada konstruksi dan bentuk susunan daerah. Jika pada saat berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, daerah otonom (sebagai konsekwensi diberlakukannya desentralisasi) keberadaannya berimpit dengan wilayah administrasi (sebagai konsekwensi penerapan dekonsentrasi), sehingga penyebutannya menjadi: Propinsi Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Maka dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 terjadi perubahan yang mendasar, dimana hanya Propinsi saja yang melaksanakan dua bentuk kewenangan yaitu desentralisasi dan dekonsentrasi, sedangkan Daerah Kabupaten/Kota semata-mata menjalankan kewenangan desentralisasi saja. Implikasi lebih lanjut dengan diterapkannya UU No. 22/1999 sebagaimana tertuang dalam pasal 129 adalah dihapuskannya lembaga Pembantu Bupati; kemudian Camat tidak lagi merupakan Kepala Wilayah namun sebagai Perangkat Daerah (Pasal 66). Kecamatan menurut UU No. 22 tahun 1999 merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan dengan sebutan Camat. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat. Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota. Camat bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota. (Pasal 66) Dihapusnya Pembantu Bupati dan terjadinya perubahan status Camat dan Kecamatan menunjukkan bahwa implikasi pelaksanaan UU No. 22/1999 akan berdampak cukup luas terhadap peran dan fungsi Kecamatan. Dari gambaran tersebut nampak bahwa dalam rangka menunjang pelaksanaan UU No. 22/1999 perlu ada rekonstruksi mekanisme penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal ini tidak terlepas dari posisi Camat yang semestinya sangat strategis karena menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota. Diharapkan sebagian dari kewenangan yang dipandang relevan dan tepat bagi tuntutan pelayanan masyarakat akan diserahkan kepada Camat, dan seterusnya sebagian kewenangan Camat juga diserahkan kepada Kelurahan.
Adapun Kelurahan menurut UU No. 22/1999 adalah perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan, yang disebut Lurah. Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/Bupati atas usul Camat. Lurah menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat. Lurah bertanggungjawab pada Camat. (Pasal 67)
Adanya perubahan peran menurut UU No. 22/1999 dimana Camat dan Kelurahan diletakkan pada posisi strategis bahkan sebagai ujung tombak pelayanan terhadap masyarakat, maka penting kiranya melakukan identifikasi fungsi-fungsi pemerintahan yang sebaiknya dilaksanakan di Kelurahan. Berkaitan dengan pelaksanaan SPM, alangkah baiknya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (dalam hal ini Bupati/Walikota) juga melakukan identifikasi kewenangan/fungsi yang sebaiknya diserahkan pada Camat dan Lurah untuk melaksanakan sebagian kewenangan/fungsi yang ada di SPM.
Pada dasarnya kecamatan maupun kelurahan merupakan tingkatan wilayah yang memiliki posisi yang sangat dekat dengan masyarakat. Oleh sebab itu bentuk maupun macam kewenangan/fungsi yang diserahkan pada camat dan lurah seyogyanya bersifat praktis, sederhana, dan menyentuh kehidupan riil masyarakat.

Lurah
Camat
SPM (Dinas Daerah)   Bupati                        

Bagan 2: Penyerahan Sebagian Kewenangan (termasuk SPM) dari Bupati/Walikota kepada Camat dan Lurah



                                                                                                   Dilimpahkan         Dilimpahkan
                                                                                                    (sebagian)            (sebagian)
             
Dengan desain yang pas, bisa dioptimalkan peran Kecamatan dan Kelurahan dimasa-masa mendatang, khususnya di dalam penyelenggaraan fungsi penyediaan pelayanan. Karena dengan dilimpahkannya sebagian fungsifungsi penyediaan pelayanan dari pemerintah daerah ke Kecamatan dan Kelurahan akan memiliki manfaat yang besar seperti:
1. penyelenggaraan pelayanan terhadap masyarakat semakin dekat dengan sasaran;
2. dengan pelayanan yang langsung kepada masyarakat, maka semakin kecil rantai birokrasi yang harus ditempuh oleh masyarakat dalam rangka memperoleh pelayanan dari Pemerintah Daerah;
3. dengan rantai birokrasi yang semakin pendek, juga memungkinkan Pemerintah Daerah untuk melakukan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanannya.
Kesimpulan & Saran
Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dalam tulisan ini. Pertama, SPM merupakan standar minimum pelayanan publik yang harus disediaan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Dengan adanya SPM maka akan terjamin kualitas minimum dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat, dan sekaligus akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah. Kedua, SPM sangat mendesak untuk disusun, khususnya bagi kabupaten/kota yang memang secara langsung merupakan penyedia pelayanan publik. Ketiga, posisi propinsi yang dalam pelaksanaan kewenangan daerah lebih banyak bertindak sebagai “pendukung, fasilitator, ataupun koordinator ” bagi pelaksanaan kewenangan lintas kabupaten/kota, maka sebaiknya dalam penyusunan SPM juga tidakmelepaskan diri dari posisi dan peran tersebut, sehingga lebih mendorong daerah kabupaten/kota untuk lebih berinisiatif melaksanakan kewenangan daerah. Keempat kemampuan seorang pemimpin daerah dalam mendelegasikan wewenang ke unit-unit organisasi juga menentukan keberhasilan daerah dalam melaksanakan SPM. Akhir kata, semoga penyusunan SPM di masa mendatang akan lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga pemerintah daerah akan lebih akuntabel di mata masyarakat daerahnya masing-masing.
Daftar Pustaka

GTZ. 2004. Pegangan Memahami Desentralisasi: Beberapa Pengertian tentang Desentralisasi. Yogyakarta: Pembaruan.

Haris, Syamsuddin. 2001. Paradigma Baru Otonomi Daerah. Jakarta: P2P-LIPI.

Helmi Fuady, Ahmad, dkk. 2002. Memahami Anggaran Publik. Yogyakarta: IDEA Press

Kaloh, j. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineke Cipta.

Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: ANDI

Shah, Anwar. 1997. Balance, Accountability, and Responsiveness: Lesson about Decentralization. The World Bank.

Syaukani, H, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid. 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan PUSKAP.

Yuwono, Teguh (ed.). 2001. Manajemen Otonomi Daerah: Membangun Daerah Berdasar Paradigma Baru. Semarang: CLOGAPPS Diponegoro University.

Riwayat Hidup Penulis
Drs. Nanang Nugraha, S.H., M.Si., Lahir di Karawang 4 April 1964, Saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Fakultas Ilmu Politik Universitas Purwakarta, riwayat pendidikan dimulai sebagai Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) seteah itu memperoleh pendidikan magister pemerintahan di Institut Ilmu Pemerintahan, saat ini sedang menempuh magister hukum di Universitas Islam Bandung dan Doktor ilmu pemerintahan di Universitas Padjajaran Bandung, pekerjaan yang dijalani saat ini yaitu sebagai Dekan Fisip Universitas Purwakarta, sebagai Dosen tetap di Universitas Purwakarta, mengajar juga sebagai dosen di Universitas Singa Perbangsa Karawang, STKIP Subang, dan IPDN serta menjadi tenaga pendidik dan pelatihan di Widyaiswara Kabupaten Purwakarta.  

Ditulis Oleh : Unknown ~ Berbagi Design Blogger

Sobat sedang membaca artikel tentang STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) DAN PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebarluaskan artikel ini, tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar bijak Anda sangat di nantikan ..Terimakasih.Salam Sukses...

get this widget
Memuat...


Daftar Artikel Gratis

Berlangganan Gratis



 
Support : Fahrezanugraha | Alifa Firmansyah | Team Creatif
Copyright © 2013. Skripsi, Karya Tulis Ilmiah dan bahan Tayang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger