Home » » TINJAUAN HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT TEORI DAN SEJARAH HUKUM PEMERINTAH DAERAH

TINJAUAN HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT TEORI DAN SEJARAH HUKUM PEMERINTAH DAERAH

Written By Unknown on Kamis, 03 Januari 2013 | 20.05


TINJAUAN HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT TEORI DAN SEJARAH HUKUM PEMERINTAH DAERAH

Oleh :

Drs. Nanang Nugraha, S.H., M.Si

Abstrak

Perkembangan sebuah ilmu sangat ditentukan oleh kemampuannya menjawab berbagai masalah-masalah sosial dan alam yang menjadi bidang garapannya. Semakin fungsional sebuah ilmu- dalam arti mampu menjalankan sekurang-kurangnya lima fungsi utama ilmu – akan semakin banyak pendukungnya. Hal tersebut pada gilirannya akan mendorong semakin banyak orang yang mempelajari dan menghasilkan teori maupun konsep baru. Sebaliknya, apabila sebuah ilmu tidak fungsional dalam menjawab kebutuhan masyarakat, maka ilmu tersebut akan ditinggalkan oleh masyarakat dan akhirnya akan mati. Kemampuan suatu ilmu untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat akan sangat tergantung pada epistemologinya, karena salah satu hal yang membedakan antara ilmu satu dengan ilmu lainnya adalah dari segi metodologinya.
Abstract

            Development of a science hardly determined by the ability replying various social problems and nature becoming. Increasingly functional an ilmudalam meaning can implement at least five main functions of science - would more and more the supporter. The thing in turn will push more and more man who is studying and yields new theory and also concept. On the contrary, if a science is not functional in replying requirement of public, hence the science will be leaved by public and finally will die. Ability a science to answer various requirement of public would hardly depend on the epistemology, because one thing differentiating between sciences one with other science is from the angle of its(the methodologies.

Pendahuluan
Di era modern, negara sebagai suatu organisasi kekuasaan keberadaannya dipahami sebagai hasil bentukan masyarakat melalui proses perjanjian sosial antara warga masyarakat. Keberadaan negara menjadi kebutuhan bersama untuk melindungi dan memenuhi hak-hak individu warga negara serta menjaga tertib kehidupan sosial bersama. Kebutuhan tersebut dalam proses perjanjian sosial termanifestasi menjadi cita-cita atau tujuan nasional yang hendak dicapai sekaligus menjadi perekat antara berbagai komponen bangsa. Untuk mencapai cita-cita atau tujuan tersebut, disepakati pula dasar-dasar organisasi dan penyelenggaraan negara. Kesepakatan tersebutlah yang menjadi pilar dari konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh William G. Andrew bahwa terdapat tiga elemen kesepakatan dalam kontitusi, yaitu (1) tentang tujuan dan nilai bersama dalam kehidupan berbangsa (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government); (2) tentang aturan dasar sebagai landasan penyelenggaraan negara dan pemerintahan (the basis of government); dan (3) tentang institusi dan prosedur penyelenggaraan negara (the form of institutions and procedure).[1]
Setiap lembaga negara memiliki kekuasaan tertentu yang dimaksudkan agar negara dapat memenuhi tugas yang menjadi alasan pembentukannya, serta untuk mewujudkan tujuan nasional. Dalam sistem komputerisasi, organisasi negara dapat diibaratkan sebagai perangkat keras (hardware) yang bekerja menjalankan roda organisasi negara.
Untuk menjamin kekuasaan yang dimiliki oleh setiap penyelenggara negara akan dilaksanakan sesuai dengan alasan pemberian kekuasaan itu sendiri serta mencegah tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka pemberian dan penyelenggaraan kekuasaan itu harus berdasarkan hukum. Inilah makna prinsip negara hukum baik dalam konteks rechtsstaats maupun rule of law. Hukum menjadi piranti lunak (soft ware) yang mengarahkan, membatasi, serta mengontrol penyelenggaraan negara.
Permasalahan
Bagaimanakah tinjauan sejarah hukum Pemda menurut Teori dan Sejarah Hukum Pemda ?
Pembahasan
Sejarah Hukum Pemerintah Daerah
Gelombang perubahan yang melanda Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan orde baru, membuka wacana dan gerakan baru diseluruh aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam dunia pemerintahan. Semangat yang menyala-nyala untuk melakukan reformasi, bahkan cenderung melahirkan euphoria, memberikan energi yang luar biasa bagi bangkintya kembali wacana otonomi daerah, setelah hampir sepertiga abad ditenggelamkan oleh rezim otoritarian orde baru dengan politik stick and carrot-nya (Sri Budi Santoso : 2000). Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Marsdiasmo (1999), menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah , Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa akan datang.
Dalam sejarah perkembangannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengikuti pola seperti pada bandul jam yaitu beredar antara sangatsentralistik dan sangat desentarlistik. Apabila kebijakan yang dilaksanakan sangat sentralistik maka bandulnya akan ditarik kembali kepada arah titik keseimbanganm desentralistik demikian pula sebaliknya. 
 Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan social ekonomi, yakni meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.(Sadu Wasisitiono;2003)
Sistem Otonomi Daerah
Yang dimaksud dengan faham atau sistem otonomi disini ialah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah tangga daerah dan tentang tata cara pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah menurut suatu prinsip atau pola pemikiran tertentu. (Sujamto; 1990)
Adapun mengenai faham atau atau system otonomi tersebut pada umumnya orang mengenal ada dua faham atau system pokok, yaitu faham atau system otonomi materiil dan faham atau system otonomi formal. Oleh Sujamto (1990) kedua istilah ini lazim juga disebut pengertian rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip) dan pengertian rumah tangga formil (formeele huishoudingsbegrip)
Koesoemahatmadja (1978) menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang terkenal yaitu :
a. Ajaran Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsbegrip),
b. Ajaran Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Formil (formeele huishoudingsbegrip)
c. Ajaran Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsbegrip)
Pada ajaran rumah tangga meteril bahwa dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut diperinci dengan jelas dan diperiinci dengan tegas dalam Undang –Undang tentang pembentukan suatu daerah. Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu dalam Undang-Undang pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam perincian tidak termasuk dalam rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan pemerintah pusat.
Perkembangan kebijakan otonomi daerah di Indonesia
a. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit.
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administrative belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.
b. Undang-Undang Pokok tantang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948. Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya a s/d c tyang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.(Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayatsebagi berikut
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebuttelah diserahkan kemudian dengan UU.
Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut system atauajaran materiil. Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Hanya saja system ini ternyata tidak dianut secara konsekwen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990).
c. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan PresidenNomor 5 Tahun 1960. Adapun nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah system otonomi riil, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang system otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Dengan peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan lain.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
            UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960. Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
            Berbeda dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965) yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak berbicara apa-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawabbukan sebagai system atau faham atau pengertian akan tetapi sebagai suatuprinsip. (Sujamto; 1990)
Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
f. UU Nomor 22 tahun 1999
            Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
2. Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9.
Tujuan Hukum dan Pemerintahan
Secara teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal.
Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Di sisi lain, hukum juga dapat digunakan untuk memperoleh atau mencapai manfaat tertentu dalam kehidupan berbangda dan bernegara. Di samping untuk menegakkan keadilan, hukum dapat digunakan sebagai instrumen yang mengarahkan perilaku warga negara dan pelaksanaan penyelenggaraan negara untuk mencapai kondisi tertentu sebagai tujuan bersama. Hukum difungsikan as a tool of social engineering. Dalam konteks hukum nasional, hukum tentu harus bermanfaat bagi pencapaian tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan nasional di atas tentu saja juga harus menjadi tujuan penyelenggaraan pemerintahan karena pada hakikatnya organisasi negara penyelenggara pemerintahan dibentuk untuk mencapai tujuan dimaksud. Tujuan nasional tersebut diterjemahkan ke dalam fungsi, wewenang, dan program dari setiap organisasi penyelenggara pemerintahan. Dengan demikian antara tujuan hukum dan tujuan pemerintahan berjalan beriringan. Hukum menjadi piranti lunak yang mengarahkan pencapaian tujuan nasional, sedangkan pemerintahan yang menggerakkan agar tujuan tersebut dapat dicapai.
Kesimpulan & Saran
Kesimpulan
Dari uraian diatas terlihat bahwa dalam sejarah perkembangan kebijakan otonomi daerah di Indonesia tidak ada satu ajaran atau system yang digunakan secara konsisten. UU otonomi daerah yang paling lama digunakan adalah UU nomor 5 tahun 1974 hanya tidak dapat digunakan secara maksimal karena sepanjang 25 tahun usianya belum semua peraturan pelaksanaannya dibuat bahkan termasuk UU tentang perimbangan kekuangan antara pusat dan daerah sampai diganttikan oleh UU Nomor 22 tahun 1999. Keadaan ini pada gilirannya membuka kesempatan pada eksekutif untuk melakukan interpretasi sesuai dengan seleranya.
Demikian pula dalam pelaksanaan UU Nomor 22 tahun 1999, belum semua peraturan pelaksanaannya dilengkapi sehingga pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara maksimal dan menimbulkan banyak ekses disana sini. Perbedaanya jika dalam UU nomor 5 tahun 1974 peran eksekutif sangat mendominasi maka dalam UU 22 tahun 1999 peran legislative ditunjukkan dengan cukup signifikan. Karena banyaknya ekses yang timbul dalam pelaksanaan UU Nomor 22 tahun1999 sekarang muncul keinginan untuk merevisi kembali UU ini. Kita belum tahu apa yang menjadi semangat dari UU sebagai hasil revisi dari UU Nomor 22 tahun 1999 ini apakah memiliki semangat otonomi daerah atau semangat sentralisasi.
Dengan melihat pelaksanaan kebijakan otonomi diatas, berkesimpulan bahwa pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Indonesia tidak pernah mencapai tujuan yang diharapkan dikarenakan tidak adanya konsistensi pelaksanaan terhadap tiap-tiap UU tantang Otonomi daerah yang pernah diberlakukan di Indonesia. Tiap UU tersebut tidak pernah dilaksanakan sampai tuntas karena besar kepentingan politik dari masing-masding pihak yang dominan pada masa diberlakukannya UU tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh Elfian Effendi (2001) yang mengatakan adanya delapan indikasi ancaman keberhasilan otonomi daerah yaitu sebagai berikut :
1) Konflik elit politik yang tidak kunjung selesai;
2) Meruncingnya perseteruan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
3) Amandemen UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 hanya akan memperlambat proses otonomi daerah;
4) Defisit APBN dan desentralisasi fiskal;
5) Utang luar negeri telah mengganggu kedaulatan bangsa;
6) Rusaknya dunia perbankan dan mati surinya sector riil;
7) Terbatasnya investasi asing dan domestik karena ketidaknyamanan berinvestasi;
8) Keterbatasan cadangan sumber daya alam yang diandalkan sebagai dana bagi hasil.
Saran
Berhasil tidaknya implementasi otonomi daerah pada era sekarang akan sangat tergantung pada semangat para penyelenggara pemerintahan daerah serta dukungan masyarakat, bukan oleh pihak lain. Berkaitan dengan hal tersebut dituntut kesadaran semua pihak untuk menyatukan langkah dan bersikap saling percaya, sebab pembangunan memerlukan kepercayaan yang tinggi (high trust).
Daftar Pustaka
Djaenuri, Aries, Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia.

Koesoemahamadja,R.D.H., Fungsi & Struktur Pamongpraja, Alumni, Bandung 1978,

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta. 2002, 

Nugroho, Riant, , Reinventing Indonesia, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta 2001

Sarundajang,S.H, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1999,

Soejito, Irawan, Sejarah Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2Pradnya Paramita, Jakarta 1976,

Sujamto, Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab,Ghalia Indonesia, Jakarta 1990,

SumargonoJati Diri Ilmu Pemerintahan ; Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta. 1995.

Wasistiono, Sadu, Esensi UU NO.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Bunga Rampai), Alqaprint, Jatinangor 2001,.

————-,Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqaprint, Jatinangor 2002.

William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968),

Riwayat Hidup Penulis
Drs. Nanang Nugraha, S.H., M.Si., Lahir di Karawang 4 April 1964, Saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Fakultas Ilmu Politik Universitas Purwakarta, riwayat pendidikan dimulai sebagai Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) seteah itu memperoleh pendidikan magister pemerintahan di Institut Ilmu Pemerintahan, saat ini sedang menempuh magister hukum di Universitas Islam Bandung dan Doktor ilmu pemerintahan di Universitas Padjajaran Bandung, pekerjaan yang dijalani saat ini yaitu sebagai Dekan Fisip Universitas Purwakarta, sebagai Dosen tetap di Universitas Purwakarta, mengajar juga sebagai dosen di Universitas Singa Perbangsa Karawang, STKIP Subang, dan IPDN serta menjadi tenaga pendidik dan pelatihan di Widyaiswara Kabupaten Purwakarta.  



[1] William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 12 – 13.

Ditulis Oleh : Unknown ~ Berbagi Design Blogger

Sobat sedang membaca artikel tentang TINJAUAN HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT TEORI DAN SEJARAH HUKUM PEMERINTAH DAERAH. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebarluaskan artikel ini, tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar bijak Anda sangat di nantikan ..Terimakasih.Salam Sukses...

get this widget
Memuat...


Daftar Artikel Gratis

Berlangganan Gratis



 
Support : Fahrezanugraha | Alifa Firmansyah | Team Creatif
Copyright © 2013. Skripsi, Karya Tulis Ilmiah dan bahan Tayang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger