TINJAUAN HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT TEORI DAN SEJARAH HUKUM
PEMERINTAH DAERAH
Oleh :
Drs.
Nanang Nugraha, S.H., M.Si
Abstrak
Perkembangan sebuah ilmu sangat ditentukan oleh
kemampuannya menjawab berbagai masalah-masalah sosial dan alam yang menjadi
bidang garapannya. Semakin fungsional sebuah ilmu- dalam arti mampu menjalankan
sekurang-kurangnya lima fungsi utama ilmu – akan semakin banyak pendukungnya.
Hal tersebut pada gilirannya akan mendorong semakin banyak orang yang
mempelajari dan menghasilkan teori maupun konsep baru. Sebaliknya, apabila
sebuah ilmu tidak fungsional dalam menjawab kebutuhan masyarakat, maka ilmu
tersebut akan ditinggalkan oleh masyarakat dan akhirnya akan mati. Kemampuan
suatu ilmu untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat akan sangat tergantung
pada epistemologinya, karena salah satu hal yang membedakan antara ilmu satu
dengan ilmu lainnya adalah dari segi metodologinya.
Abstract
Development
of a science hardly determined by the ability replying various social problems
and nature becoming. Increasingly functional an ilmudalam meaning can implement
at least five main functions of science - would more and more the supporter.
The thing in turn will push more and more man who is studying and yields new
theory and also concept. On the contrary, if a science is not functional in
replying requirement of public, hence the science will be leaved by public and
finally will die. Ability a science to answer various requirement of public
would hardly depend on the epistemology, because one thing differentiating
between sciences one with other science is from the angle of its(the
methodologies.
Pendahuluan
Di era
modern, negara sebagai suatu organisasi kekuasaan keberadaannya dipahami
sebagai hasil bentukan masyarakat melalui proses perjanjian sosial antara warga
masyarakat. Keberadaan negara menjadi kebutuhan bersama untuk melindungi dan
memenuhi hak-hak individu warga negara serta menjaga tertib kehidupan sosial
bersama. Kebutuhan tersebut dalam proses perjanjian sosial termanifestasi
menjadi cita-cita atau tujuan nasional yang hendak dicapai sekaligus menjadi
perekat antara berbagai komponen bangsa. Untuk mencapai cita-cita atau tujuan
tersebut, disepakati pula dasar-dasar organisasi dan penyelenggaraan negara.
Kesepakatan tersebutlah yang menjadi pilar dari konstitusi sebagaimana
dinyatakan oleh William G. Andrew bahwa terdapat tiga elemen kesepakatan dalam
kontitusi, yaitu (1) tentang tujuan dan nilai bersama dalam kehidupan berbangsa
(the general goals of society or general
acceptance of the same philosophy of government); (2) tentang aturan dasar
sebagai landasan penyelenggaraan negara dan pemerintahan (the basis of government); dan (3) tentang institusi dan prosedur
penyelenggaraan negara (the form of
institutions and procedure).[1]
Setiap
lembaga negara memiliki kekuasaan tertentu yang dimaksudkan agar negara dapat
memenuhi tugas yang menjadi alasan pembentukannya, serta untuk mewujudkan
tujuan nasional. Dalam sistem komputerisasi, organisasi negara dapat
diibaratkan sebagai perangkat keras (hardware)
yang bekerja menjalankan roda organisasi negara.
Untuk
menjamin kekuasaan yang dimiliki oleh setiap penyelenggara negara akan
dilaksanakan sesuai dengan alasan pemberian kekuasaan itu sendiri serta
mencegah tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka pemberian dan
penyelenggaraan kekuasaan itu harus berdasarkan hukum. Inilah makna prinsip
negara hukum baik dalam konteks rechtsstaats
maupun rule of law. Hukum menjadi
piranti lunak (soft ware) yang
mengarahkan, membatasi, serta mengontrol penyelenggaraan negara.
Permasalahan
Bagaimanakah tinjauan sejarah hukum Pemda
menurut Teori dan Sejarah Hukum Pemda ?
Pembahasan
Sejarah Hukum Pemerintah Daerah
Gelombang perubahan yang melanda
Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan orde baru, membuka wacana dan gerakan
baru diseluruh aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam dunia
pemerintahan. Semangat yang menyala-nyala untuk melakukan reformasi, bahkan cenderung
melahirkan euphoria, memberikan energi yang luar biasa bagi bangkintya kembali
wacana otonomi daerah, setelah hampir sepertiga abad ditenggelamkan oleh rezim
otoritarian orde baru dengan politik stick and carrot-nya (Sri
Budi Santoso : 2000). Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan
pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Marsdiasmo
(1999), menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar, paling
tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat
yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya
kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses
pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah , Kedua, tuntutan
pemberian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era
new game yang membawa new rules pada semua aspek
kehidupan manusia di masa akan datang.
Dalam sejarah perkembangannya
kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengikuti pola seperti pada bandul
jam yaitu beredar antara sangatsentralistik dan sangat desentarlistik. Apabila
kebijakan yang dilaksanakan sangat sentralistik maka bandulnya
akan ditarik kembali kepada arah titik keseimbanganm desentralistik demikian
pula sebaliknya.
Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam
rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri
setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik,
yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran
infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan
administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi
pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat,
transparan serta murah. Ketiga, tujuan social ekonomi, yakni
meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.(Sadu Wasisitiono;2003)
Sistem Otonomi Daerah
Yang dimaksud dengan faham atau
sistem otonomi disini ialah patokan tentang cara penentuan batas-batas
urusan rumah tangga daerah dan tentang tata cara pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada daerah menurut suatu prinsip atau pola pemikiran
tertentu. (Sujamto; 1990)
Adapun mengenai faham atau atau
system otonomi tersebut pada umumnya orang mengenal ada dua faham atau system
pokok, yaitu faham atau system otonomi materiil dan faham atau system
otonomi formal. Oleh Sujamto (1990) kedua istilah ini lazim juga disebut pengertian
rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip) dan pengertian
rumah tangga formil (formeele huishoudingsbegrip)
Koesoemahatmadja (1978)
menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang terkenal yaitu :
a. Ajaran Rumah Tangga Materiil (materiele
huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Materiil (materiele
huishoudingsbegrip),
b. Ajaran Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau
Pengertian Rumah Tangga Formil (formeele huishoudingsbegrip)
c. Ajaran Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau
Pengertian Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsbegrip)
Pada ajaran rumah tangga
meteril bahwa dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut diperinci
dengan jelas dan diperiinci dengan tegas dalam Undang –Undang tentang
pembentukan suatu daerah. Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi
tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu dalam Undang-Undang
pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam perincian tidak termasuk dalam
rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan pemerintah pusat.
Perkembangan kebijakan otonomi
daerah di Indonesia
a. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan
Komite Nasional Daerah.
Dalam pasal 18 UUD 1945,
dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar daerah besar dan
daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam
system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat
istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih
kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Peraturan perundangan yang
pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan
darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan
segera saja. Dalam batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal
saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh
Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada
penjelasdan secara eksplisit.
Dalam undang-undang ini
menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten dan kota
berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi
berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk
administrative belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi
Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian
dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102
tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang
terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.
b. Undang-Undang Pokok tantang Pemerintahan
Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan kedua yang mengatur
tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22 tahun 1948 yang
ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948. Dalam UU dinyatakan
bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya a s/d c
tyang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.(Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak
dinyatakan mengenai system rumah tangga yang
dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya,
kita harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur
batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini
terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayatsebagi berikut
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus
rumah tangganya daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam
ayat 1 ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap
daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat
bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan daerah dibatasi
dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan
untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk
dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya
kecuali apabila urusan tersebuttelah diserahkan kemudian dengan
UU.
Dari uraian di atas terlihat
bahewa UU ini menganut system atauajaran materiil.
Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut
otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan
kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom
dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah
pusat.
Hanya saja system ini ternyata
tidak dianut secara konsekwen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan
dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika
hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam
Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya”. (Sujamto;1990).
c. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam perjalannya UU ini
mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun
1959 dan Penetapan PresidenNomor 5 Tahun 1960. Adapun nama resmi
dari system otoniomi yang dianut adalah system otonomi riil, sebagaimana
secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang system otonomi
yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus
segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang
diserahkan kepada peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1
diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng
diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat
pembentukannya.
3. Dengan peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan
memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul
dari dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai
daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah
daerah dari daderah setingkat diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2
ditambah denga urusan lain.
d. Undang-undang Nomor 18
tahun 1965
UU
ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun
1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun
1960. Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini
juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan
dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU
Nomor 1 Tahun 1957.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda
dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965)
yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5
tahun 1974 tidak berbicara apa-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU
ini menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawabbukan
sebagai system atau faham atau pengertian akan
tetapi sebagai suatuprinsip. (Sujamto; 1990)
Sebagaimana diketahui pada masa
pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar dalam
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang
tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas
dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen
atau pelengkap dari asas desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang
seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian
hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di
samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk
mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1965. Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan
terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal
berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada
pada semua UU terdahulu yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan
berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan
pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang
telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan
perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap
ruang lingkup materi yang yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
f. UU Nomor 22 tahun 1999
Dalam
UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974
dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki
antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan
kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai
pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam
beberapa pasal berikut :
1. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama
serta kewenangan bidang lain.
2. Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai
daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat
lintas kabupaten dan kota serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan
oleh kabupaten dan kota. Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah
administrative mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg
dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola
sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara
kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah
kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan
yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9.
Tujuan
Hukum dan Pemerintahan
Secara
teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat
universal.
Keadilan
adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan
agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan
sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan
kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang
dapat merusak tatanan keadilan. Keadilan memang merupakan konsepsi yang
abstrak. Namun demikian di dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan
hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas
proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat
abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari
rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh
tata nilai dan norma lain dalam masyarakat. Kepastian hukum sebagai salah satu
tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan.
Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum
terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya
kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika
melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan
prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Di sisi
lain, hukum juga dapat digunakan untuk memperoleh atau mencapai manfaat
tertentu dalam kehidupan berbangda dan bernegara. Di samping untuk menegakkan
keadilan, hukum dapat digunakan sebagai instrumen yang mengarahkan perilaku
warga negara dan pelaksanaan penyelenggaraan negara untuk mencapai kondisi
tertentu sebagai tujuan bersama. Hukum difungsikan as a tool of social engineering. Dalam konteks hukum nasional,
hukum tentu harus bermanfaat bagi pencapaian tujuan nasional, yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan
nasional di atas tentu saja juga harus menjadi tujuan penyelenggaraan
pemerintahan karena pada hakikatnya organisasi negara penyelenggara
pemerintahan dibentuk untuk mencapai tujuan dimaksud. Tujuan nasional tersebut
diterjemahkan ke dalam fungsi, wewenang, dan program dari setiap organisasi
penyelenggara pemerintahan. Dengan demikian antara tujuan hukum dan tujuan
pemerintahan berjalan beriringan. Hukum menjadi piranti lunak yang mengarahkan
pencapaian tujuan nasional, sedangkan pemerintahan yang menggerakkan agar
tujuan tersebut dapat dicapai.
Kesimpulan & Saran
Kesimpulan
Dari uraian diatas terlihat bahwa
dalam sejarah perkembangan kebijakan otonomi daerah di Indonesia tidak ada satu
ajaran atau system yang digunakan secara konsisten. UU otonomi daerah yang
paling lama digunakan adalah UU nomor 5 tahun 1974 hanya tidak dapat
digunakan secara maksimal karena sepanjang 25 tahun usianya belum semua
peraturan pelaksanaannya dibuat bahkan termasuk UU tentang perimbangan
kekuangan antara pusat dan daerah sampai diganttikan oleh UU Nomor 22
tahun 1999. Keadaan ini pada gilirannya membuka kesempatan pada eksekutif
untuk melakukan interpretasi sesuai dengan seleranya.
Demikian pula dalam pelaksanaan
UU Nomor 22 tahun 1999, belum semua peraturan pelaksanaannya dilengkapi
sehingga pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara maksimal dan menimbulkan
banyak ekses disana sini. Perbedaanya jika dalam UU nomor 5 tahun 1974 peran
eksekutif sangat mendominasi maka dalam UU 22 tahun 1999 peran legislative
ditunjukkan dengan cukup signifikan. Karena banyaknya ekses yang timbul dalam pelaksanaan
UU Nomor 22 tahun1999 sekarang muncul keinginan untuk merevisi kembali UU ini.
Kita belum tahu apa yang menjadi semangat dari UU sebagai hasil revisi dari UU
Nomor 22 tahun 1999 ini apakah memiliki semangat otonomi daerah atau semangat
sentralisasi.
Dengan melihat pelaksanaan kebijakan
otonomi diatas, berkesimpulan bahwa pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di
Indonesia tidak pernah mencapai tujuan yang diharapkan dikarenakan tidak adanya
konsistensi pelaksanaan terhadap tiap-tiap UU tantang Otonomi daerah yang
pernah diberlakukan di Indonesia. Tiap UU tersebut tidak pernah
dilaksanakan sampai tuntas karena besar kepentingan politik dari masing-masding
pihak yang dominan pada masa diberlakukannya UU tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh
Elfian Effendi (2001) yang mengatakan adanya delapan indikasi ancaman
keberhasilan otonomi daerah yaitu sebagai berikut :
1) Konflik elit politik yang tidak kunjung
selesai;
2) Meruncingnya perseteruan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah;
3) Amandemen UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 hanya
akan memperlambat proses otonomi daerah;
4) Defisit APBN dan desentralisasi fiskal;
5) Utang luar negeri telah mengganggu kedaulatan
bangsa;
6) Rusaknya dunia perbankan dan mati surinya
sector riil;
7) Terbatasnya investasi asing dan domestik karena
ketidaknyamanan berinvestasi;
8) Keterbatasan cadangan sumber daya alam yang diandalkan
sebagai dana bagi hasil.
Saran
Berhasil tidaknya implementasi
otonomi daerah pada era sekarang akan sangat tergantung pada semangat para
penyelenggara pemerintahan daerah serta dukungan masyarakat, bukan oleh pihak
lain. Berkaitan dengan hal tersebut dituntut kesadaran semua pihak untuk
menyatukan langkah dan bersikap saling percaya, sebab pembangunan memerlukan
kepercayaan yang tinggi (high trust).
Daftar Pustaka
Djaenuri, Aries, Hubungan
Pusat dan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia.
Koesoemahamadja,R.D.H., Fungsi
& Struktur Pamongpraja, Alumni, Bandung 1978,
Mardiasmo, Otonomi dan
Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta. 2002,
Nugroho, Riant, , Reinventing
Indonesia, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta 2001
Sarundajang,S.H, Arus
balik Kekuasaan Pusat Ke daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1999,
Soejito, Irawan, Sejarah
Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2, Pradnya Paramita,
Jakarta 1976,
Sujamto, Otonomi
Daerah yang nyata dan bertanggung jawab,Ghalia Indonesia, Jakarta 1990,
Sumargono, Jati Diri Ilmu Pemerintahan ;
Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta. 1995.
Wasistiono, Sadu, Esensi UU NO.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Bunga Rampai), Alqaprint, Jatinangor 2001,.
————-,Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, Alqaprint, Jatinangor 2002.
William
G. Andrews, Constitutions and
Constitutionalism, 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968),
Riwayat
Hidup Penulis
Drs. Nanang Nugraha, S.H.,
M.Si., Lahir di Karawang 4 April 1964, Saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas
Ilmu Sosial dan Fakultas Ilmu Politik Universitas Purwakarta, riwayat pendidikan
dimulai sebagai Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) seteah itu
memperoleh pendidikan magister pemerintahan di Institut Ilmu Pemerintahan, saat
ini sedang menempuh magister hukum di Universitas Islam Bandung dan Doktor ilmu
pemerintahan di Universitas Padjajaran Bandung, pekerjaan yang dijalani saat
ini yaitu sebagai Dekan Fisip Universitas Purwakarta, sebagai Dosen tetap di
Universitas Purwakarta, mengajar juga sebagai dosen di Universitas Singa
Perbangsa Karawang, STKIP Subang, dan IPDN serta menjadi tenaga pendidik dan
pelatihan di Widyaiswara Kabupaten Purwakarta.
[1] William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3rd
edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 12 – 13.
Ditulis Oleh : Unknown ~ Berbagi Design Blogger
Sobat sedang membaca artikel tentang TINJAUAN HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT TEORI DAN SEJARAH HUKUM PEMERINTAH DAERAH. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebarluaskan artikel ini, tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar bijak Anda sangat di nantikan ..Terimakasih.Salam Sukses...