OTONOMI DAERAH ANTARA CITA – CITA
DAN KENYATAAN
Tugas Akhir Mata Kuliah
Hukum Pemerintahan Daerah
Disusun oleh :
NANANG NUGRAHA
UNIVERSITAS PURWAKARTA
2008
PENGANTAR
Otonomi daerah
hingga saat ini masih terus menjadi bahan pembicaraan yang menarik berbagai
kalangan baik pejabat pemerintah, wakil rakyat, politisi, akademis, pelaku
ekonomi bahkan rakyat awam sekalipun.
Makalah ini
hanya sebagian pengetahuan dan pemahaman penulis yang dapat disajikan untuk
memenuhi tugas akhir mata kuliah Hukum Pemerintahan Daerah dengan judul Otonomi
Daerah Antara Cita – Cita dan Kenyataan.
Semoga ada
manfaatnya mohon maaf atas segala kekurangan.
Terima kasih
Purwakarta, Oktober 2008
Penulis
Nanang
Nugraha
DAFTAR
ISI
Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
Bab II Persfektif Cita –
cita Otonomi Daerah
Lata Belakang
Cita – cita Otonomi
Bab III Kenyataan Otonomi
Daerah
Bab IV Kesimpulan dan
Penutup
BAB
I
PENDAHULUAN
Tanggal 1
Januari 2001 merupakan awal berlakunya Otonomi Daerah yang berdasarkan UU
No.22/1999 dan UU No.25/1999.
Namun Otonomi
Daerah sesungguhnya telah memiliki sejarah yang panjang dalam Sistem
Pemerintahan di Indonesia. Bahkan sejak jaman penjajahan Belanda telah mulai
diperkenalkan.
Pada tahun
1903, Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan Desentralisasi 1903 (Staatsblad
1903 / 329) yang membuka kemungkinan dibentuknya daerah – daerah otonom yang
disebut gewestlijke ressorten atau locale ressorten. Melalui Undang – undang
tentang perubahan pemerintahan, kepada daerah – daerah diberikan kewenangan
yang lebih luas. Disamping diberikan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri, daerah juga diberi tugas – tugas untuk membantu dan
melaksanakan peraturan perundang – undangan pusat (mede bewind). Tujuan utama
waktu itu adalah memberi kesempatan dan beban tanggung jawab kepada penduduk
asli untuk menyelenggarakan pemerintahan agar lambat laun mereka memperoleh
pengalaman politik yang melakukan pelatihan dan penyelenggaraan kehidupan
pemerintahan yang bebas dalam lingkungan ikatan Kerajaan Belanda.
Sistem otonomi
daerah yang sudah dikembangkan sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda itu
dihentikan oleh penjajah Jepang. Dewan – dewan perwakilan dihapus oleh Jepang.
Pemerintah Kabupaten dan Kota tetap ada yang dipimpin oleh bupati (kentyoo) dan
walikota (sityoo).
Ketika
Indonesia akan merdeka, dipersiapkan sebuah UUD yang didalamnya sudah
dicantumkan juga adanya bentuk daerah yang otonomi (streek en locale
rechtsgemeenschappen), disamping daerah yang bersifat administrative. Kemudian
setelah proklamasi kemerdekaan pemerintah menerbitkan UU No.1 tahun 1945 yang
mengatur tentang Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Daerah. Badan
ini bersama – sama dengan di pimpin oleh kepada Daerah menjalankan pekerjaan
mengatur rumah tangga daerahnya.
Selanjutnya
dalam rentang waktu 54 tahun sejak tahun 1945 hingga tahun 1999 telah lahir
enam UU dan dua Penpres yang silih berganti mengatur sistem pemerintahan daerah
yang didalamnya ada otonomi daerah. Kini yang berlaku adalah UU No.22 tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah disertai UU No.25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut
menjadi acuan utama dalam pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini.
Guna lebih
memperkuat dan memberi penekanan terhadap perlunya segera dilaksanakan otonomi
daerah tersebut MPR – RI mengeluarkan TAP No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijaksanaan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah salah satu pertimbangannya
adalah : “bahwa penyelenggaraan otonomi daerah selama ini belum dilaksanakan
sebagaimana diharapkan sehingga banyak mengalami kegagalan dan tidak mencapai
sasarah yang telah ditetapkan. Kegagalan itu menimbulkan ketidakpuasan dan
ketersinggungan rasa keadilan yang melahirkan antara lain tuntutan untuk
memisahkan diri dan tuntutan keras agar otonomi daerah ditingkatkan
pelaksanaannya”.
Dari uraian di
atas dapat kita ketahui bahwa meskipun selama ini otonomi daerah itu sudah
diatur oleh UU yang pernah ada, tetapi pelaksanaannya masih belum mencapai
sasarah. Bahkan dampak dari kegagalan pelaksanaan otonomi daerah dapat
berakibat serius yaitu tuntutan untuk memisahkan diri alias merdeka.
Daerah yang
serius menutut merdeka antara lain Aceh, Irian Jaya, Riau dan Kaltim. Bahkan
Aceh dan Irian Jaya disertai adanya gerakan yang bersenjata yaitu AGAM dan OPM.
Oleh karena itu secara khusus rekomendasi MPR tersebut memilah Aceh dan Irian
Jaya yang berbeda dengan daerah – daerah lain.
Untuk lebih
jelasnya berikut ini kutipan beberapa butir dari Rekomendasi tersebut :
“Rekomendasi ini ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar
ditindak lanjuti sesuai dengan butir – butir rekomendasi di bawah ini :
1)
Undang
– undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya,
sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1999 tentang
Garis – garis Besar Haluan Negara tahun 1999 – 2004, agar dikeluarkan selambat
– lambatnya 1 Mei tahun 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah
yang bersangkutan.
2)
Pelaksanaan
otonomi daerah bagi daerah – daerah lain sesuai dengan UU No.22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan dengan memperhatikan hal – hal sebagai berikut :
a.
Keseluruhan
peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari kedua Undang – undang tersebut
agar diterbitkan selambat – lambatnya akhir Desember tahun 2000
b.
Daerah
yang sanggup melaksanakan otonomi secara utuh dapat segera memulai
pelaksanaannya terhitung 1 Januari 2001 yang tercermin dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah
c.
Daerah
yang belum mempunyai kesanggupan melaksanakan otonomi daerah secara penuh dapat
memulai pelaksanaannya secara bertahap sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya
d.
Apabila
keseluruhan peraturan pemerintah belum diterbitkan sampai dengan akhir Desember
2000, daerah yang mempunya kesanggupan penuh untuk menyelenggarakan otonomi
diberikan kesempatan untuk menerbitkan peraturan daerah yang mengatur
pelaksanaannya. Jika peraturan pemerintah telah diterbitkan, peraturan
pemerintah daerah yang terkait harus disesuaikan dengan peraturan pemerintah
dimaksud.
Kutipan
tersebut menggambarkan kesungguhan Majelis dalam merespon tuntutan daerah untuk
dapat segera melaksanakan otonomi. Kemudian apa yang menjadi tujuan – tujuan
dari kebijakan tentang otonomi daerah tersebut.
TAP
No.IV/MPR/2000 menyebutkan, “Kutipan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian
sasaran – sasaran sebagai berikut :
1)
Peningkatan
pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat serta aparatur
pemerintahan di daerah
2)
Kesetaraan
hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah di daerah dan antar
pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan
3)
Untuk
menjamin peningkatan rasa kebanggaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat
di daerah
4)
Menciptakan
ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah
BAB
II
PERSFEKTIF
CITA – CITA OTONOMI DAERAH
A. Latar
Belakang
Lahirnya UU
No.22/1999 dan No.25/1999 diwarnai, oleh suasana krisis, mulitidimensional yang
didahului oleh krisis moneter. Di bidang politik dan pemerintahan, saat itu
sedang berada pada masa transisi dari Orde Baru ke Era Reformasi yang ditandai
oleh adanya euforia demokrasi dengan ekspresi serba bebas dalam menyampaikan
pikiran, perkataan dan tindakan.
Pembahasan
kedua RUU yang melahirkan kedua UU tersebut berada pada ujung masa bhakti
Presiden dan DPR-RI menjelang Pemilu 1999. Jika pemilu dilaksanakan tanggal 7
Juni 1999, maka pembahasan RUU tersebut berlangsung pada sekitar Maret – April
1999.
Sementara itu
tuntutan daerah – daerah yang merasa diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah
Pusat selama Orde Baru terus mendesak, bahkan mengancam akan memisahkan diri
alias merdeka. Oleh karena itu dapat dimaklumi jika hasil rumusan dari UU
tersebut mungkin terdapat kekurangan dan kelemahan jika dikaitkan dengan
keperluan mencapai sasaran tertentu termasuk untuk mewujudkan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian
tidak berarti bahwa UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 buruk dan tidak dapat
dipakai sebagai landasan pelaksanaan otonomi daerah. Bahkan jika dibandingkan
UU No.5 tahun 1974 tentang pokok – pokok pemerintahan di daerah, maka UU
No.22/1999 ini banyak sekali pada idealisme desentralisasi yaitu demokrasi,
daya guna dan hasil guna, pemberdayaan masyarakat dan kesejahteraan rakyat
melalui pembangunan ekonomi.
Memang ada
beberapa kelemahan dari UU No.22/1999 tersebut antara lain Bab III Pembentukan
dan Susunan Daerah Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi “Daerah – daerah sebagaimana
dimaksud ayat (1) masing – masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan
herarki satu sama lain”. Padalah yang dimaksud itu adalah hubungan Daerah
Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Sedangkan Pasal 18 UUD 1945 dalam
penjelasannya menyebutkan. ”Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi
dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil”. Disini
dapat dinilai ada semangat yang agak berlebihan dalam UU No.22/1999 ketika memisahkan
sama sekali hubungan antara propinsi dengan kabupaten dan kota.
Hal tersebut
yang kemudian melahirkan angka 7 (TAP-IV/MPR/2000) yang berbunyi :
“Sejalan dengan
semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daera
diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar
terhadap Undang – undang Nomo 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang – undang Nomo 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antar
Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya
penyesuaian terhadap pasal 18 Undang – undang Dasar 1945, termasuk pemberian
otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota, desa/negeri/marga, dan
sebagainya.
Lepas dari
adanya kelemahan dalam UU No.22/1999 tersebut dikaitkan dengan upaya untuk
mewujudkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, dapat dibahas sejauh mana
dapat dijadikan landasan pelaksanaan otonomi daerah.
B. Cita
– cita
Bab I Ketentuan
Umum, pasal 1 huruf h menyebutkan “Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah
Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang – undangan”. Sedangkan huruf I menyebutkan “Daerah otonom,
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Elemen yang
terdapat dalam pengertian otonomi daerah tersebut adalah sebagai berikut :
1)
Kewenangan
2)
Daerah
otonom
3)
Mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
4)
Prakarsa
sendiri
5)
Aspirasi
masyarakat
6)
Peraturan
perundang – undangan
Berdasarkan
pengertian tersebut, maka “pelaksanaan otonomi daerah” adalah melaksanakan atau mengefektifkan enam elemen yang
terkandung dalam pengertian tersebut.
1)
Kewenangan
Menurut
pengertian bahasa, kewenangan adalah dasar bertindak yang dibenarkan oleh
hukum. Sedangkan menurut teori hubungan pusat daerah dalam ilmu pemerintahan
adalah adanya pelimpahan kekuasaan untuk bertindak yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
Istilah
kewenangan dalam hal ini terkait dengan aturan hubungan tentang pusat – daerah
sebagai akibat dari dianutnya asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan di
daerah UU No.22/1999 mencantumkan Bab IV kewenangan daerah yang dijabarkan
mulai pasal 7 sampai dengan pasal 13.
Dalam pasal 7
ayat (1) dianut tentang Kewenangan Daerah yang mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama serta
kewenangan dibidang lain. Ayat (2) menjelaskan mengenai kewenangan bidang lain,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dan perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
Adapun bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota meliputi
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan,
koperasi dan tenaga kerja.
2)
Daerah
Otonom
Berdasarkan
asas desentralisasi, maka dibentuklah daerah otonom yang mempunyai otonomi.
Makna dari otonom itu sendiri pada prinsipnya berkenaan dengan kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.
Sedangkan
pengertian menurut UU No.22/1999 pasal 1 huruf I disebutkan daerah otonom,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3)
Mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat
Makna mengatur
dalam pemerintahan adalah membuat dan melaksanakan aturan yang mengikat pihak –
pihak tertentu dan atau yang terkait. Dalam UU No.22/1999 Bab VI Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepada Daerah
menjelaskan aturan tercantum dalam pasal 69 sampai pasal 74 pasal 69
menyebutkan, Kepala Daerah Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka
penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi.
Pasal 70 menyatakan peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundang – undangan yang lebih
tinggi.
Selanjutnya
makna mengurus adalah menyelenggarakan urusan. Sedangkan dalam ilmu
pemerintahan adalah tindakan pemberian otonomi, ke daerah dalam bentuk hak,
wewenang dan kewajiban untuk mengatur, mengurus dan menyelenggarakan urusan –
urusan dan atau kegiatan pemerintahan tertentu oleh Pemerintah kepada
Pemerintah Daerah Propinsi dan atau Daerah Kabupaten / Kota dan oleh Pemerintah
Daerah Propinsi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota.
UU No.22/1999
menentukan ada jenis urusan yang dikaitkan dengan Daerah Otonom sebagaimana
diatur pasal 11 ayat (2) urusan yang wajib dilaksanakan yaitu ada 11 macam
sebagai berikut :
(1)
Pekerjaan
umum
(2)
Kesehatan
(3)
Pendidikan
dan kebudayaan
(4)
Pertanian
(5)
Perhubungan
(6)
Industri
(7)
Penanaman
modal
(8)
Lingkungan
hidup
(9)
Pertanahan
(10)
Koperasi
(11)
Tenaga
kerja
Pasal
7 ayat (1) menetapkan pengecualian, urusan yang tidak dilimpahkan kepada daerah
ada 5 macam yaitu :
(1)
Politik
luar negeri
(2)
Pertahanan
dan keamanan
(3)
Peradilan
(4)
Moneter
dan fiskal
(5)
Agama
Ditambah dengan
yang lain yaitu sebagaimana diatur pasal 7 ayat (2) :
(1)
Perencanaan
nasional dan pembangunan nasional secara makro
(2)
Dana
perimbangan keuangan
(3)
Sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara
(4)
Pembinaan
dan pemberdayaan sumberdaya manusia
(5)
Pendayagunaan
sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis
(6)
Konservasi
(7)
Standarisasi
nasional
UU
No.22/1999 pasal 22 yang mengatur tentang kewajiban DPRD pada huruf e, menyebut
“Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi,
menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut
penyelesaiannya”.
Kemudian
pasal 43 tentang kewajiban kepada Daerah huruf e menyebutkan “Meningkatkan
taraf kesejahteraan”, sedangkan huruf f menyebut “Memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat”.
4)
Prakarsa
sendiri
Prakarsa yang
mempunyai titik singgung dengan peran serta dijelaskan pada konsiderans
Menimbang pada huruf b dari UU No.22/1999 dirumuskan sebagai berikut : “bahwa
dalam penyelenggaraan Otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan
kepada prinsip – prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah”.
Kemudian pada
huruf c disebutkan sebagai berikut “bahwa dalam menghadapi perkembangan
keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan
global, dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara
proporsional, yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip – prinsip demokrasi, serta
peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
UU No.22/1999
jelas menempatkan peran serta dan prakarsa masyarakat sebagai hal yang penting.
5)
Aspirasi
masyarakat
UU No.22/1999
pasal 18 tentang tugas dan wewenang DPRD huruf h menyebutkan, “menampung dan
menindak lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat”. Maka sudah jelas bahwa UU ini
mempunyai misi untuk menjadikan aspirasi masyarakat sebagai masukan dalam
proses pengambilan keputusan.
6)
Peraturan
Perundang – undangan
UU No.22/1999
pasal 72 ayat (1) menggariskan bahwa untuk melaksanakan peraturan daerah dan
atas kuasa peraturan perundang – undangan yang berlaku kepada daerah menetapkan
keputusan kepada daerah. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan, keputusan
sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan daerah, dan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi. Untuk
mengetahui Tata Urutan Peraturan Perundang – undangan, dapat dilihat dalam TAP
No.III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang –
undangan, pasal 2 berbunyi sebagai berikut :
“Tata Urutan
peraturan Perundang – undangan Republik Indonesia adalah“ :
(1)
Undang
– undang Dasar 1945
(2)
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(3)
Undang
– undang
(4)
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang – undang (Perpu)
(5)
Peraturan
Pemerintah
(6)
Keputusan
Presiden
(7)
Peraturan
Daerah
BAB
III
KENYATAAN
OTONOMI DAERAH
Setelah hampir
8 tahun Undang – undang yang menganut kebijakan otonomi daerah sampai dengan
saat ini mewujudkan kenyataan yang belum mensejahterakan masyarakat, bahkan
cenderung tingkat kemiskinan di daerah semakin meningkat.
Keadaan ini
tentunya tidak diharapkan dari cita – cita otonomi daerah, namun kita masih
harus tetap optimis sewaktu usia 8 tahun kalau kita ibaratkan anak sekolah baru
kelas 3 SD dan kita menyadari apa yang bisa diperbuat oleh anak sekolah 3 SD?
Mungkin baru mengenal tokoh pahlawan mengarang berlukis dan pengalaman mereka
di rumah dan pada saat libur sekolah.
Mereka belum
tentu belum paham akan keadaan masyarakat dari dampak krisis multidimensi pada
tahun 1998.
Otonomi daerah
baru sebatas perangkat peraturan perundangan belum suplementasi. Hal ini
terlihat dari revisi UU No.22 tahun 1999 dengan UU No.32 tahun 2004. Revisi
terjadi sewaktu banyak aturan yang
tersirat dalam UU No.22 tahun 1999 belum mengakomodasi kondisi daerah baik dari
ketersediaan SDA maupun SDA nya. Bahkan peralihan pembaharuan organisasi
perangkat daerah yang mempengaruhi penataan kelembagaan untuk melaksanakan
otonomi daerah.
Sudah 3 kali
diganti mulai dari PP 84 tahun 2000, PP 8 tahun 2003 dan saat ini sedang
dibahas oleh masing – masing Pemda. Implementasi PP 41 tahun 2007 untuk
dijadikan peraturan daerah organisasi perangkat daerah.
Jadi otonomi
daerah pada kenyataannya menimbulkan berbagai persoalan yang perlu segera di
benahi sehingga cita – cita otonomi daerah untuk memajukan dan mensejahterakan
masyarakat dan menjadi kenyataan.
Beberapa hal
pelaksanaan yang tidak sesuai dengan cita – citanya dapat penulis kemukakan
sebagai berikut :
v SDM
Aparatur
pemerintah daerah belum siap untuk berotonomi, karena selama 32 tahun birokrasi
pemerintah daerah di atur pusat (desentralisasi) walaupun dalam UU No.5 tahun
1974 dalam salah satu pasalnya menegaskan bahwa titik berat otonomi daerah ada
pada pemerintah daerah kabupaten Tk. III namun pemerintah orde baru menerapkan
desentralisasi “setengah hati” dengan berbagai kebijakan yang berakibat pemda
kabupaten sangat tergantung pada pemerintah pusat.
v Keterbatasan
-
Sumber
daya alam yang dimiliki oleh masing – masing daerah menimbulkan ketimpangan
pemerataan pembangunan ala daerah yang cepat berkembang, barulah ada daerah
daerah yang justru angka kemiskinannya semakin bertambah
-
Pelaksanaan
demokratisasi di daerah cenderung melewati batas, konflik pilkada, kebebasan
pers, hubungan bupati dan DPRD, penetapan APBD. Seringkali menimbulkan masalah
baru dan berlarut – larut akibatnya elit politik dekade mudah salah paham dan
program pembangunan menjadi mandek.
-
Pengalihan
perilaku korupsi bagi pejabat pemda, bahwa aturan yang tidak jelas serta cenderung
berubah – ubah banyak pejabat daerah terjerat kasus korupsi akibatnya banyak
aparat pemda yang tidak bersedia kalau diberi tanggung jawab menangani proyek
pembangunan
-
Perubahan
dan pembentuk daerah baru yang tunjangan untuk menetapkan otonomi daerah, malah
menjadi suatu problem baru berubah menghambat pelaksanaan otonomi daerah
-
Kualitas
suatu pemda banyak hal lainnya bahwa konsep cita – cita otonomi daerah baru
sebatas cita – cita dan belum implementasi dari yang diharapkan.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
KESIMPULAN
-
Otonomi
daerah sebagai cita – cita yang sudah lama menyertai perubahan pemerintahan di
Indonesia
-
Otonomi
daerah yang implementasinya oleh suatu peranan pembangunan baru dimulai sejak 1
Januari 2001 melalui UU No.22 tahun 1999
-
Tujuan
otonomi daerah untuk agar daerah dalam berkembang maju sendiri dan
masyarakatnya sejahtera
-
Kenyataannya
bahwa kebijakan otonomi daerah masih banyak persoalan dan kendala / terhambat
oleh implementasinya, karena disebabkan SDA dan SDM terbatas, aturan pelaksanaannya
yang selalu berubah serta kepentingan politik lebih dominan dari pada
kepentingan ekonomi maupun lainnya
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat
kami sampaikan semoga ada manfaatnya. Terima kasih.
Ditulis Oleh : Unknown ~ Berbagi Design Blogger
Sobat sedang membaca artikel tentang OTONOMI DAERAH ANTARA CITA – CITA DAN KENYATAAN. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebarluaskan artikel ini, tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar bijak Anda sangat di nantikan ..Terimakasih.Salam Sukses...