Home » » Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah

Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah

Written By Unknown on Selasa, 01 Januari 2013 | 21.50

KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH


Setelah mengalami proses pembelajaran , peserta diharapkan dapat:
1.      Menjelaskan perubahan paradigma rule government, hubungan paradigma good governance dengan arah kebijakan peraturan perundangan, dan perubahan paradigma kebijakan  pelayanan publik  di era otonomi daerah,
2.      Mengidentifikasi, menganalisis dan merumuskan jenis,  jumlah  urusan dan kewenangan bersama (concurrent) pelayanan dasar  yang wajib dilaksanakan daerah,
3.      Memahami konsepsi dan manfaat Standar Pelayanan Minimal

A.    Kebijakan Pelayanan Publik

1.     Paradigma Good Governance dalam Pelayanan Publik

Untuk menambah pengetahuan, pemahaman dan wawasan peserta, dalam bab ini diulas mengenai pergeseran paradigma kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, yaitu dari paradigma rule government bergeser ke paradigma good governance.
a.       Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada pendekatan paradigma rule government (legalitas)  yang dalam prosesnya  senantiasa menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan, atau mendasarkan pada pendekatan legalitas.

Penggunaan paradigma rule government atau pendekatan legalitas, dewasa ini cenderung  mengedepankan prosedur, urusan dan kewenangan, dan kurang memperhatikan proses, serta tidak melibatkan stakeholder  baik di lingkungan birokrasi, maupun masyarakat yang berkepentingan. 

Contoh: Permasalahan pasar tradisional sangat komplek, berbagai kepentingan ada disana, yaitu kepentingan pemerintah daerah, pedagang, dunia usaha dan perbankan, serta kepentingan masyarakat umum lainnya.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan Pimpinan Daerah (KDH) menghendaki untuk melakukan penataan atau pemugaran pasar tradisional tersebut. Tujuannya agar pasar tradisional lebih baik, mampu menampung pedagang dengan lingkungan pasar tertib, bersih, sehat, nyaman dan aman, dan untuk mendorong pengembangan perekonomian masyarakat dan daerah, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tindak lanjutnya, menimbulkan masalah dan penolakan dari pedagang pasar, penyebabnya, dalam proses perumusan dan penyusunan rencana dan kebijakan penataan atau pemugaran pasar, lebih didasarkan pada   pendekatan rule government, dengan lebih mengutamakan hak, wewenang dan kepentingan pemerintah daerah. Pelibatan stake holder di lingkungan birokrasi dilakukan bersifat formalitas, hanya untuk memenuhi persyaratan koordinasi dan tidak mencerminkan adanya kerjasama dan integrasi kewajiban dan tanggungjawab.

Disamping itu, selain tidak melibatkan masyarakat pasar, juga tidak memperhatikan dan/atau mempertimbangkan konsep pembinaan pelayanan pasar dan pemberdayaan pedagang tradisional, serta prinsip-prinsip good governance, seperti; akuntabilitas, transparansi,keadilan dan kesetaraan menjadi barang langka. 

Pelibatan masyarakat pasar, umumnya dilakukan dengan beberapa tokoh pedagang tertentu, dan dianggap memenuhi syarat telah mewakili  seluruh masyarakat pasar.

b.       Sedangkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan  publik, menurut  paradigma good governance, prosesnya tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah (pendekatan legalitas) tetapi mengedepankan kebersamaan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pelayanan publik. Pelibatan elemen pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi, karena merekalah (jajaran pejabat dibawah koordinasi Sekda) yang memiliki kompetensi untuk mendukung pelaksanaan kebijakan.
     
Pelibatan masyarakat dilakukan tidak formalitas, penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) kepada para pemangku kepentingan dilakukan secara optimal melalui berbagai teknik dan kegiatan, termasuk di dalam proses perumusannya.

Paradigma good governance, dewasa ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar stakeholder pemerintahan di pusat dan daerah, dampaknya menumbuhkan semangat memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan menuangkannya kedalam berbagai kebijakan pemerintahan daerah.   

c.       Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat.

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diperlukan dan relevan untuk mendekatkan pemerintahan dalam kerangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberdayakan masyarakat.

b.      Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan penyelenggaraan pemerintahan nasional, dan menjadi komitmen nasional yang  diatur dan diamanatkan dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pelaksanaannya diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan Undang-Undang nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Esensi kepemerintahan yang baik dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat dan meningkatkan pelayanan publik. Kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah sangat strategis dalam upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik.

Dengan demikian pelayanan publik memiliki nilai strategis dan menjadi prioritas untuk dilaksanakan. Menjadi pertanyaan, apakah fungsi pemerintahan yang lainnya tidak strategis dan tidak prioritas? Bukankah dalam penyelenggaraan pemerintahan juga banyak masalah yang mendesak yang harus ditangani? Jawabannya tidak sederhana, tetapi kalau kita memahami essensi kepemerintahan yang baik dan hubungannya dengan tujuan pemberian otonomi daerah, arahnya jelas yaitu sesuai dengan fungsinya untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang baik.

c.       Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah karena buruknya penyelenggaraan pelayanan publik yang signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good governance. Dampak pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas dan menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen pemerintahan yang kurang baik.
              
Kinerja manajemen pemerintahan yang buruk, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain: ketidakpedulian dan rendahnya komitmen aparatur penyelenggara pemerintahan terhadap keberhasilan tujuan otonomi daerah, yaitu meningkatkan pelayanan publik untuk mensejahterakan masyarakat.
 
g.       Perubahan signifikan pada pelayanan publik, dengan sendirinya akan   dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, menunjukkan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, dan disisi lain menunjukkan adanya perubahan sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan menjadi lebih baik. Meningkatnya kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan komitmen pimpinan/top manajer dan aparat penyelenggaraan pemerintahan untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak di semua lini ranah pelayanan publik, serta menghilangkan diskriminasi pelayanan.

h.       Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat,    perbaikan atau peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan pembangunan yang dilakukan oleh   masyarakat luas (masyarakat dan swasta).

Paradigma good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan, mengubah sikap mental, perilaku aparat penyelenggara pelayanan serta membangun kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas.  

Kata Kunci: Pelayanan publik sangat strategis sebagai entry point                untuk mewujudkan good governance. Perbaikan dan peningkatan pelayanan publik dianggap memiliki dampak luas dan berpengaruh terhadap; perbaikan manajemen kinerja, sikap mental, perilaku dan menumbuhkan kepedulian dan komitmen aparat daerah meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat.

2.     Peraturan Perundang-undangan

Fungsi utama pemerintah adalah memberikan pelayanan, menyelenggarakan pembangunan, dan menyelenggarakan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya dengan menciptakan ketentraman dan ketertiban yang mengayomi dan mensejahterakan masyarakatnya. Penyelenggaraan pelayanan publik memiliki aspek dimensional, oleh karena itu dalam pembahasan dan menerapkan strategi pelaksanaannya tidak dapat hanya didasarkan pada satu aspek saja, misalnya hanya aspek ekonomi atau aspek politik, tetapi pendekatannya harus terintegrasi melingkupi aspek lainnya, seperti aspek sosial budaya dan aspek hukum/Peraturan Perundang-undangan.
a.       Pendekatan penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan pada satu aspek, hanya akan menghasilkan solusi parsial bagi pembenahan dan peningkatan pelayanan publik. Aspek hukum/Peraturan Perundang-undangan dan/atau kebijakan yang mengatur pelayanan publik menjadi salah satu aspek penting sebagai landasan pijak penyelenggaraan pelayanan publik.

b.       Dalam kontek good governance, untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik, selain didasarkan pada kriteria atau unsur-unsur kepemerintahan yang baik, diperlukan kebijakan pemerintahan dalam bentuk berbagai Peraturan Perundang-undangan dan kebijakan operasionalnya. Oleh karena itu, aspek hukum dan Peraturan Perundang-undangan menjadi dasar pendekatan utama di dalam membahas pelayanan publik.

c.       Dengan demikian dalam membahas pelayanan publik, seharusnya kita terlebih dahulu mengetahui dan memahami landasan hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pelayanan publik.

d.      Untuk memberikan tambahan pengetahuan, ada beberapa teori yang menjelaskan  peran pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan publik dan sebagai lembaga politik, penyediaan  pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Diantaranya dikemukakan pendapat  seorang pakar, yaitu;

Steve Leach dkk,*) menyatakan “The most fundamental of these key differences is that the local authority is not merely a provider of goods services, it is also both a governmental and a political institution, constituted by local election”

Local authorities are not only providers of services; they are also political institutions for local choice and local voice.The key issue for management of local government is how to achieve an organization that not merely carries out one role but carries out both roles , not separately but in interaction”. As a services provider the organization of local authority aims to meet the demands, needs or aspirations of those for whom the service is provided. But the service has to be provided in accordance with public policy as determined by the local authority or defined by national legislation.

Pemerintahan daerah pada dasarnya mempunyai dua peran, yaitu sebagai lembaga penyedia pelayanan dan sebagai institusi politik, pelaksanaan kedua peran tersebut harus terintegrasi. Dalam memberikan pelayanan publik, Pemerintahan Daerah harus mengetahui dan memahami kebutuhan, serta memperhatikan aspirasi masyarakat pemilihnya. Penyediaan pelayanan, disesuaikan dengan kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah atau pemerintah, artinya penyelenggaraan pelayanan harus didasarkan pada aturan hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Daerah atau DPR.

Dalam kontek di Indonesia, pengaturan pelayanan publik diatur dalam  Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pelaksanaannya diatur  dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan Sektoral, dan diantaranya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan perubahannya. Pemerintahan Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004,  adalah Pemerintah Daerah dan DPRD atau dikenal dengan eksekutif dan legislatif (?) yang memiliki fungsi menyelenggarakan pelayanan publik dan fungsi sebagai lembaga politik.

Pada hakekatnya, Kepala Daerah adalah lembaga politik, dan harus dipahami sebagai Top Pimpinan Daerah/Top Manager, keberadaannya dipilih oleh masyarakat (konsituen) melalui proses politik pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang diajukan oleh kereta Partai Politik. Oleh karenanya, kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik di daerah dalam prakteknya, dipengaruhi oleh komitmen politik dari Kepala Daerah dan anggota DPRD.

Komitmen politik disini dimaksudkan, bahwa Kepala Daerah sebagai pimpinan Pemeritah Daerah (eksekutif) yang ditugasi melaksanakan fungsi pelayanan publik (perintah Perda dan/atau Peraturan Perundang-undangan), seharusnya memiliki komitmen dan kemauan untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang baik dan berorientasi pada kepentingan konsituennya atau masyarakat pemilihnya, untuk tujuan mensejahterakan masyarakat.

e.       Kebijakan pelayanan publik, saat ini diatur dan tersebar di berbagai Peraturan Perundang-undangan antara lain;
1)      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945       
2)      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
3)      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Peraturan Perundang-undangan sektoral lainnya;
4)      Beberapa Peraturan Perundang-undangan dan pedoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah (kurun waktu 1993-1998) yang berkaitan dengan kebijakan pelayanan  publik antara lain;
a)      Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan  Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada  Masyarakat; 
b)      Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1993 Tentang Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Undang-undang Gangguan Bagi  Perusahaan Industri;
c)      Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 32 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Undang-Undang Gangguan Bagi Perusahaan Industri;
d)     Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 1996 tentang   Penyusunan Buku Petunjuk Pelayanan Perizinan Terpadu;
e)      Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 1998 tentang   Pelayanan Satu  Atap di Daerah;
f)       Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Apartur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tata laksana Pelayanan Umum;
g)      Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 503/2931/PUOD perihal Petunjuk Teknis Pelaksanaan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 1996 tentang Penyusunan Bukuk Petunjuk Pelayanan Perizinan Terpadu;
h)      Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 503/125/PUOD perihal Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan di Daerah; dan
i)        Peraturan Perundang-undangan dan pedoman/petunjuk lainnya yang dikeluarkan oleh Pemerintah (Departemen, Kementrian, Badan dan Lembaga yang terkait dengan peningkatan pelayanan publik).

Memperhatikan Peraturan Perundang-undangan dan kebijakan dari pemerintah tersebut, menunjukan arah  kebijakan pelayanan publik adalah  untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Kinerja manajemen pelayanan yang baik diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan pelayanan dan dapat mendorong meningkatkan kualitas layanan, memperbaiki citra pelayanan publik yang buruk, memperkuat  daya saing daerah, mendorong peningkatan investasi dan pengembangan perekonomian daerah, serta menciptakan efisiensi dan efektfitas pelayanan umum, dan pada gilirannya mampu mewujudkan kepemerintahan yang baik. Kebijakan pemerintah tersebut, mendapat respon positif  dari Daerah, dan lebih 100 daerah Kabupaten dan Kota (s/d tahun 2003), telah  membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) atau Unit Pelayanan Tepadu Satu Atap (UPTSA) atau Unit Pelayanan Satu Pintu.

Dalam perkembangannya, sebagian besar UPT/UPTSA/Unit Pelayanan Satu Pintu mati suri dan bahkan tidak berfungsi, atau berubah kembali ke kegiatan pelayanan tradisional yang secara  fungsional dilaksanakan oleh masing Dinas/Instansi yang membidangi pelayanan perizinan dan non perizinan.

Kondisi tersebut disebabkan antara lain; memudarnya komitmen top pimpinan dan jajarannya, kurangnya rasa memiliki dan tanggungjawab bersama untuk mencapai visi, misi dan tujuan organisasi, dan kuatnya ego atau kepentingan unit organisasi tertentu untuk mempertahankan kewenangan  pemberian izin.

Disisi lain, masalah legalitas organisasi, regulasi dan sumber daya manusia serta dukungan  biaya operasional dan sarana pendukung yang tidak memadai, menjadi  faktor  penyebab  lembaga pelayanan terpadu tidak berfungsi optimal.

f.        Memperhatikan kondisi tersebut diatas, dengan semangat reformasi dan upaya melaksanakan  kepemerintahan yang baik (good governance), serta untuk  menggerakkan kembali semangat memperbaiki dan meningkatkan kinerja  pelayanan umum, khususnya pelayanan perizinan, pemerintah memperbaharui kebijakan di bidang pelayanan umum, dengan mengeluarkan berbagai Peraturan Perundangan dan pedoman antara lain:
1)      Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
2)      Keputusan MENPAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik;
3)      Keputusan MENPAN Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit  Instansi Pelayanan Pemerintah;
4)      Keputusan MENPAN Nomor KEP/26/M.PAN/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaran   Pelayanan Publik;
5)      Peraturan MENPAN Nomor PER/20/M.PAN/04/2006 tentang Penyusunan Standar Pelayanan Publik; dan
6)      Peraturan MENDAGRI Nomor 24 Tahu 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan  Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

B.    Paradigma  Kebijakan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah

1.     Konsepsi Kebijakan Otonomi Daerah

a.       Kebijakan desentralisasi memiliki tujuan utama, yaitu tujuan politik dan tujuan administratif.
b.       Tujuan politik, diarahkan untuk memberi ruang gerak masyarakat dalam tataran pengembangan partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan demokrasi. Disisi lain dari pendekatan aspek pendemokrasian daerah, memposisikan Pemerintahan Daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal. Diharapkan pada saatnya, secara agregat daerah memberikan kontribusi signifikan tehadap perkembangan pendidikan politik secara nasional, dan terwujudnya civil society.
c.       Sedangkan tujuan administratif, memposisikan Pemerintah Daerah sebagai unit pelayanan yang dekat dengan masyarakat yang diharapkan dapat berfungsi maksimal dalam menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Berdasarkan tujuan politik dan administratif tersebut diatas, memberikan kejelasan bahwa misi utama dari keberadaan Pemerintahan Daerah,  adalah bagaimana mensejahterakan warga dan masyarakatnya melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis,  dengan cara-cara yang demokratis.
 
d.      Konsep kebijakan pemberian otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab pada dasarnya diarahkan untuk   mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Melalui peningkatan pelayanan publik dan pemberdayaan peran serta masyarakat, daerah diharapkan mampu mengembangkan   kreativitas, inovasi, dan dengan komitmennya berupaya untuk  meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pada pada saatnya diharapkan mampu mengembangkan potensi unggulannya dan mendorong peningkatan daya saing daerah, serta meningkatkan perekonomian daerah. 
e.       Prinsip otonomi yang nyata, adalah memberikan diskresi atau  keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan atau kewenangan bidang pemerintahan tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan urusan yang secara nyata hidup dan berkembang, di masyarakat daerah yang bersangkutan.
f.        Sedangkan prinsip otonomi yang bertanggung jawab, berkaitan dengan tugas, fungsi, tanggungjawab dan kewajiban daerah di dalam    pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah. Artinya Daerah harus            mempertanggung-jawabkan hak dan kewajibannya kepada masyarakat  atas pencapaian tujuan  otonomi daerah.
Wujud tanggung jawab tersebut harus tercermin dan dibuktikan dengan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik berdasarkan prinsip-prinsip pelayanan publik, pengembangan demokrasi, keadilan dan pemerataan bagi masyarakat daerahnya. Disamping itu, wujud pelaksanaan tanggung jawab daerah di dalam penyelenggaraan otonomi daerah juga harus didasarkan pada hubungan yang serasi antar susunan pemerintahan dan kebijaksanaan pemerintahan nasional.
g.      Otonomi daerah yang luas, tidak bermakna atau tidak berarti daerah dapat semena-mena atau sebebas-bebasnya melakukan tindakan dan perbuatan hukum berdasarkan selera dan keinginan yang mengedepankan ego daerah. Penyelenggaraan otonomi yang luas, harus sejalan, selaras dan dilaksanakan bersama-sama dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, dan memperhatikan keserasian hubungan antar pemerintahan daerah dan pemerintah nasional.

2.     Konsep Kebijakan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah

a.       Paradigma kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diatur melalui berbagai macam Peraturan Perundang-undangan, hakekatnya  untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Konsep pemberian otonomi kepada daerah dan konsep desentralisasi yang telah diuraikan diatas, mengandung pemahaman bahwa kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, adalah dalam kerangka terselenggaranya kepemerintahan yang baik, yang diwujudkan melalui tanggung jawab dan kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan publik untuk mensejahterakan masyarakat di daerahnya.
b.       Otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat…”. Daerah otonom selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. 

Definisi tersebut dapat diartikan, bahwa otonomi daerah adalah hak,wewenang dan kewajiban yang diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan untuk kepentingan mensejahterakan masyarakat.

Pengertian kesatuan masyarakat hukum dapat diartikan, sekelompok masyarakat yang melembaga yang memiliki tatanan hubungan, aturan, adat istiadat, kebiasaan dan tata cara untuk mengatur dan mengurus kehidupannya dalam batas wilayah tertentu. Dalam kontek Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang diberi hak,wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan selanjutnya disebut Daerah.

Dengan demikian, penyelenggara otonomi daerah sebenarnya adalah perwujudan dari kesatuan masyarakat hukum, dan selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 disebut Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah disini, mengandung dua pengertian; yaitu dalam arti institusi adalah Pemerintah Daerah dan DPRD, dan dalam arti proses adalah kegiatan penyelenggaran pemerintahan daerah).  

Dalam meyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, Pemerintah Daerah dan DPRD seharusnya berorientasi pada kepentingan masyarakat, dan mengutamakan tanggungjawab dan kewajibannya untuk mensejahterakan masyarakat, dengan memberikan dan/atau menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

c.       Konsep otonomi daerah telah membuka sekat komunikasi, transparansi dan akuntabilitas di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, otonomi daerah  memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk semakin memahami hak-haknya mendapatkan pelayanan dari pemerintah daerah, termasuk peran dan hak-hak perempuan di dalam berpemerintahan.

Masyarakat semakin kritis dan berani untuk menyampaikan aspirasi dan melakukan control terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Harus diakui, pelaksanaan otonomi daerah, dengan kekurangan dan kelebihannya berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam proses memberdayakan masyarakat (empowering) dan memberikan pendidikan politik (demokrasi).

Dilihat dari tujuan pemberian otonomi, kondisi dan perkembangan masyarakat yang dinamis tersebut, memberikan sinyal peringatan bagi pemerintah daerah, dan merupakan tantangan tersendiri yang harus disikapi positif oleh para pemimpin/pengambil kebijakan dan jajaran aparat penyelenggara pelayanan publik.
 
d.      Konsep kebijakan pelayanan publik yang dikemas melalui produk hukum dan/atau kebijakan daerah, umumnya  masih  didasarkan pada  pendekatan kekuasaan atau kewenangan yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daerah dan/atau birokrasi, dan tidak berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

Konsep kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, pada hakekatnya ditujukan dan berorientasi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (pelanggan) dan  memberdayakan (empowerment) staf dan masyarakat, secara bersama-sama saling mendukung untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Bobot orientasi pelayanan umum, seharusnya untuk  kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang kurang mampu atau miskin, bukan mengutamakan hak-hak atau kepentingan kalangan yang berkemampuan atau pengusaha. Diperlukan keseimbangan  pola pikir para penyelenggara pelayanan.

Keberhasilan pelaksanaan kebijakan pelayanan publik, dalam praktek sangat ditentukan dan/atau tergantung  pada  kemauan dan komitmen dari pimpinan/top manager dan jajaran pimpinan menengah dan bawah serta aparat penyelenggara operasional pelayanan umum.

C.    Konsep Pembagian Urusan dan Kewenangan Pelayanan Dasar

1.       Esensi dasar dari keberadaan pemerintah, adalah untuk menciptakan keterntraman dan ketertiban (maintain law and order) serta sebagai instrument untuk mensejahterakan rakyat. Dalam kaitan dengan Pemerintah Daerah (Pemda), mengindikasikan bahwa adanya Pemda adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya yang secara universal diukur dengan kemampuan untuk meningkatkan pencapaian indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI). Indikator HDI, diantaranya dapat diketahui dari keadaan dan  kondisi kesehatan, pendidikan, pendapatan masyarakat, kondisi lingkungan dan lainnya.

Untuk mencapai indeks HDI yang lebih tinggi;
Kata kuncinya adalah “pelayanan publik” (public services), yaitu      sejauhmana kemampuan Pemda untuk memberikan pelayanan publik yang optimal kepada masyarakatnya. Pelayanan publik yang disediakan Pemda seyogyanya sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. 



2.       Konsekuensi pemberian urusan dan kewenangan
Keberadaan Pemda adalah untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (maintain law and order) serta sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat.

Dengan demikian, konsekuensi keberadaan Pemerintahan Daerah adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keberagaman daerah.

Konsekuensi dari keberagaman daerah, adalah bahwa urusan yang Dilimpahkan berbeda atau tidak sama persis antara satu daerah dengan daerah yang lain, disesuaikan dengan perbedaan karakter geografis, potensi, keunikan sosial budaya dan mata pencaharian utama penduduknya.

Dengan demikian, jenis dan jumlah urusan dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah seharusnya beragam atau tidak sama.

Namun demikian, ada urusan yang sama dan mutlak harus diselenggarakan oleh semua daerah Kabupaten/Kota, yaitu urusan atau kewenangan wajib di bidang pelayanan dasar yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat (basic need), dengan gradasi yang berbeda.

Sedangkan yang membedakan jumlah dan jenis urusan dan kewenangan antara satu daerah dengan daerah lainnya adalah urusan dan kewenangan pilihan yang menjadi unggulan daerah (core competence).

Pemberian otonomi daerah, selain menimbulkan konsekuensi adanya perbedaaan jumlah dan jenis urusan pilihan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, juga menimbulkan konsekuensi kepada daerah untuk berusaha bagaimana dapat menghidupi kegiatan pemerintahannya. Ironisnya, konsekuensi tersebut dibebankan kepada masyarakat, dengan berbagai kebijakan pajak, retribusi dan pungutan lainnya, seperti biaya pembuatan KTP, Kartu Keluarga, dan biaya perizinan yang tidak berkait dengan prinsip pengenaan retribusi.

Seharusnya, daerah dituntut mengembangkan kreativitas, inovasi untuk menciptakan peluang untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia dan daerahnya, dengan membuat kebijakan-kebijakan yang memberi peluang kepada masyarakat untuk berperan sebagai subjek pembangunan, mengembangkan dan mengelola potensi daerahnya, serta meningkatkan  kualitas pendidikan dan kesehatan.

Contoh; Kabupaten Jembrana dan Sragen, dengan keterbatasan potensi sumber daya alam dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang relatif rendah, mengembangkan kreativitas dan inovasi, melalui berbagai kebijakannya mampu meningkatkan kinerja manajemen pemerintahannya yang efesien dan efektif, serta mampu memberikan peluang kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya, melalui kebijakan  pendidikan, kesehatan dan kesempatan berusaha. 

3.       Pelayanan yang dibutuhkan Masyarakat
Pada dasarnya kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dapat dikelompokan ke dalam dua hal:
a.       Kebutuhan dasar (basic needs) seperti kesehatan, pendidikan, air, lingkungan, keamanan, sarana dan prasarana perhubungan dan sebagainya;
b.      Kebutuhan pengembangan sector unggulan (core competence) masyarakat seperti pertanian, perkebunan, perdagangan, industri, dan sebagainya, sesuai dengan potensi dan karakter daerahnya masing-masing.

Dalam kontek otonomi, daerah harus mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua kelompok kebutuhan diatas. Kebutuhan dasar (basic needs) adalah hampir sama di seluruh daerah otonom di Indonesia, hanya gradasi kebutuhannya saja yang berbeda.

Sedangkan kebutuhan pengembangan sektor unggulan dan  penduduk, sangat erat kaitannya dengan potensi, karakter, pola pemanfaatan dan mata pencaharian penduduknya. Dengan demikian, yang membedakan jumlah, jenis urusan dan kewenangan antara daerah adalah, urusan pilihan yang berkaitan kewenangan pengembangan sektor unggulan.

4.       Esensi pemberian urusan dan kewenangan.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa esensi dari pemberian urusan dan kewenangan pemerintahan kepada daerah berapapun luasnya, harus diterjemahkan menjadi kewenangan untuk “melayanisesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan kebutuhan masyarakat adalah pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) dan kebutuhan pengembanan sector unggulan (core competence). Kewenangan dibutuhkan daerah untuk menjalankan urusannya, guna memungkinkan daerah mampu menyediakan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar dan pengembangan sektor unggulan. Dengan demikian, esensi otonomi riil yang diberikan kepada daerah adalah kewenangan untuk memberikan pelayanan yang riil dibutuhkan masyarakat.

Kata kunci otonomi daerah adalah adanya Kewenangan Daerah untuk melayani masyarakatnya agar sejahtera.   

5.       Distribusi urusan dan kewenangan
a.       Menjadi persoalan krusial bagaimana mendistribusikan kewenangan untuk menjamin pemberian pelayanan kedalam susunan pemerintahan yang ada yaitu, Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, dalam kontek pemberian otonomi dan desentralisasi, esesensinya adalah membagi tanggung jawab pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan susunan pemerintahan.
           
Artinya ada urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan yang sepenuhnya menjadi milik Daerah Kabupaten/Kota, seperti; penyediaan air minum, kebersihan, pertamanan, pemakaman, saluran limbah (sewage). Demikian pula terdapat kewenangan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, seperti Moneter, Hubungan Luar Negeri, Pertahanan Keamanan dan seterusnya. 

Urusan-urusan yang menjadi kewenangan bersama, yaitu urusan yang memiliki keterkaitan langsung antar susunan pemerintahan. Urusan-urusan yang dimiliki antar susunan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan bersama (concurrent function) yang pengaturan dan pengurusannya  dilakukan bersama, seperti; pendidikan, kesehatan, perhubungan, kehutanan, pertambangan, ketenagakerjaan, penanaman modal dan seterusnya.
       
b.      Untuk mengatur distribusi kewenangan tersebut, diperlukan ukuran atau kriteria yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pembagian kewenangan, terutama kriteria untuk mengatur kewenangan yang bersifat concurrent, yaitu:
1)      Externalitas, siapa yang terkena dampak (externalitas) langsung, dialah yang berwenang mengurus, contoh seperti sampah dampaknya lokalitas menjadi kewenangan dan tanggung jawab daerah Kabupaten/Kota;
2)      Akuntabilitas, unit pemerintahan yang menangani urusan yang paling dekat dampaknya dengan masyarakat, akaan lebih akuntabel daripada urusan tersebut ditangani oleh unit pemerintahan yang lebih tinggi atau jauh dari  masyarakat;
3)      Efisiensi, prinsip pemberian urusan dan kewenangan adalah untuk menciptakan efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam penyelenggaraan pelayanan. Diperlukan kesesuaian antara skala ekonomis dengan cakupan area layanan (catchment area), kalau cakupan layanannya lokalitas menjadi urusan daerah, dan kalau cakupan layanannya lebih luas (regional) menjadi urusan Provinsi seperti; pengelolaan aliran sungai; kehutanan dan lainnya;
4)      Keserasian hubungan pemerintahan antar susunan pemerintahan. Terdapat hubungan antara kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat inter-relasi, inter-koneksi serta inter-dependensi, namun tidak ada hierarkhi. Kewenangan dari masing-masing susunan pemerintahan berhubungan dan saling tergantung, namun tidak membawahi satu dengan yang lain. Dalam melaksanakan kewenangannya, masing-masing memiliki diskresi dan independensi.

Intervensi dari Pemerintah Pusat lebih bersifat fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) manakala daerah tidak mampu melaksanakan kewenangannya sesuai norma dan standar yang ditetapkan.

Setiap bidang kewenangan concurrent yang menjadi domain dari suatu susunan pemerintahan tidak bisa berdiri sendiri atau terlepas satu dengan lainnya, oleh karenanya dalam pelaksanaannya harus saling mengisi dan meunjang agar dicapai keserasian hubungan antar susunan pemerintahan, dalam kerangka ikatan NKRI.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan distribusi kewenangan berdasarkan ke empat kriteria tersebut diatas, dan diatur dalam pasal 13 dan 14 yang dikenal dengan urusan pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Perhatian: Penetapan 4 kriteria untuk mengatur distribusi kewenangan bersama (concurrent), khusus untuk kriteria externalitas (dampak), karena ukuran atau kriteria dampaknya belum terinci secara jelas, maka dalam penerapannya harus disikapi hati-hati. Contoh; Daerah ingin mengembangkan pelabuhan lokal untuk melayani kebutuhan masyarakat, dan untuk tujuan memacu pengembangan dan pemasaran potensi unggulannya. Suatu saat Pelabuhan tersebut berkembang, cakupan layanannya tidak hanya lokalitas, tetapi layanannya berkembang antar Kabupaten/Kota atau bahkan antar Provinsi. Pertanyaannya? Apakah perkembangan pelabuhan tersebut dikatagorikan memiliki dampak externalitas dengan cakupan layanan “lintas”, sehingga tingkat akuntabilitas dan efisiensi dari urusan pengembangan pelayanan perhubungan (ke pelabuhan) tersebut harus diangkat  sebagai urusan Provinsi (lintas Kabupaten/Kota) atau ditarik menjadi urusan dan kewenangan Pusat (lintas provinsi).

Dalam kasus ini seperti ini, contoh actual; Kabupaten Kutai Kertanegara ingin membangun Lapangan Terbang untuk mengembangkan core competence dan membuka isolasi hubungan dan komunikasi dengan daerah lain. Dalam prosesnya, ternyata kreatifitas dan keinginan daerah untuk mengembangkan potensinya (core competence), mengalami kesulitan dan hambatan kewenangan dan kepentingan, atau terbentur pada aturan main Peraturan Perundang-undangan. Lalu bagaimana solusinya, untuk mengembangkan potensi dan memajukan daerahnya ?

D.    Konsepsi Standar Pelayanan Minimal

1.     Pengantar Umum

Pendekatan keempat kriteria pembagian urusan dan kewenangan sebagaimana diuraikan diatas, adalah untuk memberikan ukuran guna memperjelas pelayanan-pelayanan apa saja yang bersifat mendasar (basic services) maupun pelayanan-pelayanan untuk pengembangan sector unggulan yang harus dilaksanakan oleh daerah. Mempertimbangkan keberagaman daerah dan adanya kondisi nyata karakteristik daerah yang berciri perkotaan dan non perkotaan, perlu ditentukan bahwa suatu urusan dapat ditentukan sebagai kewenangan wajib yang wajib dilaksanakan oleh seluruh pemerintah daerah.

Artinya ada urusan yang menjadi kewenangan wajib yang sama jenis dan jumlahnya di seluruh pemerintah daerah, baik itu daerah perkotaan ataupun daerah non perkotaan (Kota dan Kabupaten). Urusan pelayanan dasar yang menjadi  kewenangan wajib Provinsi, sesuai dengan gradasinya juga harus dilaksanakan di seluruh Provinsi.

Urusan yang menjadi kewenangan wajib yang dilaksanakan oleh daerah harus menjamin terwujudnya hak-hak individu, dan  menjamin akses masyarakat mendapatkan pelayanan dasar, sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Untuk itu kriteria kewenangan wajib harus memperhatikan:
a.       Perlindungan  hak-hak konstitusional;
b.       Perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI, dan
c.       Pemenuhan komitmen nasional yang berkaitan dengan perjanjian dan konvensi internasional.

Berdasarkan kriteria tersebut, diperlukan standar pelayanan urusan wajib yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagai pedoman daerah menyusun pelayanan dasar yang wajib disediakan Mempertimbangkan kondisi, keberagaman dan kemampuan masing-masing daerah berbeda, maka standar pelayanan kewenangan wajib tersebut harus ditetapkan standard atau batas  minimalnya, selanjutnya disebut Standar Pelayanan Minimal (SPM). Penggunaan kata minimal pada dasarnya dimaksudkan agar masing-masing daerah sesuai dengan kemampuan dan tuntutan perkembangan serta kebutuhan masyarakatnya, dalam kurun waktu tertentu dapat mencapai tingkat pelayanan yang paling minimal.

Dengan demikian SPM antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda dan disesuaikan dengan kondisi daerah, contoh; SPM kesehatan (Puskesmas) di Jawa dengan Papua harusnya berbeda, penetapan standar pelayanan minimal untuk Papua seharusnya tidak bisa didasarkan hanya pada standar  jumlah penduduk yang dilayani. Persebaran penduduk yang tidak merata, kondisi geografis, kualitas dan kuantitas personil, seharusnaya menajdi pertimbangan sendiri di dalam menetapkan SPM.

Standar pelayanan minimal, seharusnya bersifat feksibel dan dinamis, sehingga dalam kurun waktu tertentu dapat diubah untuk ditingkatkan sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kemajuan daerah, serta tuntutan kebutuhan dan harapan masyarakat. SPM seharusnya disesuaikan dengan kewenangan daerah yang sudah dibatasi (concurrent) dan lokalitas, standar yang ditetapkan tidak berorientasi pada kepentingan pemerintah pusat atau provinsi, yang mengarah agar daerah tidak mampu melaksanakannya.dan menjadi alasan untuk menarik urusan dan kewenangan daerah.

Berdasarkan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam penerapan SPM di daerah, SPM harus menjamin akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar dari pemerintah daerah. Oleh karena itu, baik dalam perencanaan maupun penganggarannya wajib memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan SPM, yaitu; sederhana, kongkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu pencapaian. 

Pelaksanaan SPM di daerah, tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah, karena menyangkut kewenangan concurrent (kewenangan bersama) dan kemampuan keuangan daerah.

Konsepsi SPM memberikan kerangka atau acuan bagi daerah untuk memiliki standar baku pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan, sehingga daerah memiliki kejelasan tolok ukur program yang akan disusun dan harus dicapai, kepastian sumber dan alokasi pembiayaannya, tahapan pelaksanaan dan progresnya. Disisi lain dengan SPM dapat mewujudkan transparansi, akuntabilitas dan memberikan kepastian bagi masyarakat terpenuhinya kebutuhan dan harapan mendapatkan pelayanan dasar.

2.     Pengertian Standar Pelayanan Minimal

Pengertian Standar Pelayanan Minimal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.
b.       Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian suatu SPM tertentu, berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan.
c.       Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan Mutlak untuk memenuhi kebutuan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan.
d.      Disamping pengertian SPM sebagaimana diuraikan diatas, perlu dipahami bahwa SPM berbeda dengan Standar Teknis, karena Standar Teknis merupakan faktor pendukung pencapaian SPM. Perlu dipahami oleh seluruh aparatur pemerintah dan masyarakat, bahwa SPM adalah suatu kondisi yang mensyaratkan daerah menetapkan standar pelayanan untuk jenis pelayanan dasar tertentu dengan indikator dan batas waktu pencapaiannya. SPM harus disusun dengan perencanaan yang matang termasuk rencana penganggarannya.
e.       SPM disusun dengan perencanaan yang matang, maksudnya dalam menyusun rencana harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip SPM, yaitu sederhana, konkrit, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu pencapaian.
f.        Dalam perencanaan SPM juga harus disusun dan direncanakan penganggarannya, maksudnya agar SPM dapat diukur berapa besar anggaran yang dibutuhkan daerah untuk membiayai jenis pelayanan wajib tertentu berdasarkan standar teknis yang ditentukan. Misalnya; berdasarkan standar teknis, dapat diketahui berapa besarnya biaya untuk membangun satu puskesmas; yang berkaitan dengan standar fisik bangunan; luas bangunan, jumlah lantai bangunan, konstruksi bangunan.

Standar teknis tidak hanya untuk kepentingan teknis pembangunan fisik, tetapi juga berkait dengan kepentingan pengawasan, dan kepentingan perencanaan anggaran seperti; biaya operasional, anggaran penyediaan fasilitas pendukung kegiatan SPM.

g.       Standar teknis sebenarnya lebih ditekankan pada kualitas jenis pelayanan dasar yang direncanakan dan berhubungan dengan berapa besar  anggaran yang dibutuhkan (fiscal need).  Dengan diketahuinya fiscal need, dan  dengan mengukur kemampuan PAD-nya (fiscal capacity) daerah dapat mengetahui fiscal gap untuk membiayai SPM dimaksud.

Darimana pembiayaan fiscal gap diperoleh, tentunya menjadi tanggungjawab dan kewajiban Pemerintah Nasional, karena SPM daerah  merupakan bagian dari SPM Nasional.

3.     Prinsip-Prinsip Standar Pelayanan Minimal  

a.       SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib;
b.       SPM ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
c.       Penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional;
d.      SPM bersifat sederhama, kongkrit, mudah diukur, terbuka terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu;
e.       SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.

4.     Penyusunan Standar Pelayanan Minimal

a.       Penyusunan SPM dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departeman, sesuai dengan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar.
b.       Dalam penyusunan SPM ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator dan batas waktu pencapaiannya;
c.       Penyusunan SPM dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri;
d.      Konsultasi dilakukan oleh masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan TIM yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri dari unsur-unsur; Departemen Dalam Negeri, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS, Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan melibatkan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait sesuai dengan kebutuhan;
e.       Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud diatas, disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), untuk mendapatkan rekomendasi;
f.        Setelah memperoleh dan mengakomodasi rekomendasi dari DPOD, masing-masing-masing Menteri menyusun SPM dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang bersangkutan. SPM yang disusun oleh Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang terkait;
g.       Dalam penyusunan SPM harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut;
1)      keberadaan sistim informasi, pelaporan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjamin pencapaian SPM dapat dipantau dan dievaluasi oleh pemerintah secara berkelanjutan;
2)      standar pelayanan tertinggi yang telah dicapai dalam bidang yang bersangkutan di daerah;
3)      keterkaitan antar SPM dalam suatu bidang dan anatara SPM dalam suatu bidang dengan SPM dalam bidang lainnya;
4)      kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersankutan, dan
5)      pengalaman empiris tentang cara penyediaan pelayanan dasar tertentu yang telah terbukti dapat menghasilkan mutu pelayanan yang ingin dicapai.
h.       Pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas berdasarkan petunjuk teknis yang  ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

5.     Penerapan Standar Pelayanan Minimal

a.       Pemerintahan  Daerah menerapkan SPM sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri;
b.       SPM yang telah ditetapkan Pemerintah menjadi salah satu acuan bagi Pemerintahan Daerah untuk menyusun perencanaan dan pengangran penyelenggaraan peemerintahan daerah;
c.       Pemerintahan Daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri;
d.      Rencana pencapaian SPM, dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD);
e.       Target tahunan pencapaian SPM dituangkan ked lam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD sesuai klasifikai belanja daerah dengan mempertimbangkan kemampuan daerah;
f.        Penyusunan rencana pencapaian SPM dan anggaran kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM dilakukan berdasarkan analisis kemampuan dan potensi daerah dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri;
g.       Rencana pencapaian target tahunan SPM serta realiasinya diinformasikan kepada masyarakat ssuai dengan Peraturan Perundang-undangan;
h.       Pemerintah Daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan informasi penetapan SPM ke dalam sistem informasi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan;
i.         Pelaksanaan urusan pemerintahan wajib yang mengakibakan dampak lintas daerah dan/atau untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya sesuai Peraturan Perundang-undangan;
j.         Dalam pengelolaan pelayanan dasar secara bersama sebagai bagian dari pelayanan publik, rencana pencapaian SPM perlu disepakati bersama dan dijadikan sebagai dasar dalam merencanakan dan menganggarkan kontribusi masing-masing daerah;
k.       Dalam upaya pencapaian SPM, Pemerintahan Daerah dapat bekerjasama dengan pihak swasta. 

6.     Pembinaan dan Pengawasan

Dalam bahasan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan SPM, juga dibahas hal yang berhubungan dengan monitoring dan evaluasi, kewajiban, tanggung jawab, penghargaaan dan sanksi.

a.       Pembinaan
1)         Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan kepada Pemerintahan Daerah dalam penerapan SPM.
        Pembinaan dapat berupa fasilitasi, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis,pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya yang mencakup:
a)         Perhitungan sumber daya dan dana yang dibutuhkan (fiscal need) untuk  mencapai SPM, termasuk kesenjangan pembiayaannya (fiscal gap);
b)         Penyusunan rencana pencapaian SPM dan penetapan target tahunan pencapaian SPM;
c)         Penilaian prestasi kerja pencapaian SPM, dan
d)        Pelaporan prestasi kerja penapaian SPM.

2)         Pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Daerah Provinsi dilakukan oleh Pemerintah, dan pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah.
         
b.       Monitoring dan Evaluasi
1)      Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu  pelayanan dasar kepada masyarakat;
2)      Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Pemerintah terhadap Pemerintah Daerah Provinsi, dan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota.

c.       Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
1)      Pemerintah wajib mendukung pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah yang belum mampu mencapai SPM.
2)      Ketidak mampuan Pemerintahan Daerah dalam mencapai SPM ditetapkan Pemerintah berdasarkan pelaporan dan hasil evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
3)      Dukungan pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah berupa fasilitasi, pemberian orientasi umum,  bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
4)      Fasilitasi, pemberian orientasi umum, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personil dan keuangan Negara serta keuangan daerah.
5)      Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang belum mampu mencapai SPM kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah.

d.      Pengawasan
1)      Menteri Dalam Negeri bertanggungjawab atas pengawasan umum penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah.
2)      Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen bertanggung jawab atas pengawasan teknis penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah.
3)      Menteri Dalam Negeri dapat melimpahkan tanggungjawab pengawasan umum penerapan SPM oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah.
4)      Menteri/Pimpinan Lembaga Non Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab pengawasan teknis penerapan SPM oleh Pemerintahan Kaupaten/Kota kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah.

e.       Penghargaan
Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada Pemerintahan Daerah yang berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Pemerintah.

f.        Sanksi
Pemerintah dapat memberikan sanksi kepada Pemerintahan Daerah yang Tidak berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi dengan mempertimbangkan kondisi khusus Daerah yang bersangkutan. 

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tersebut, belum dapat dioperasionalkan, karena masih harus ditindak lanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang harus dibuat oleh Menteri Dalam Negeri untuk menjadi pedoman Menteri/Pimpinan Lembaga Non Departemen di dalam menyusun SPM di bidangnya. Diperlukan waktu 3 tahun untuk memberikan waktu dan kesempatan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melaksanakan peraturan pemerintah tersebut.

Tenggang waktu tersebut cukup realistis, mengngingat SPM merupakan gawe nasional untuk meningkatkan pelayanan publik, dan memerlukan kerja bareng, terintegrasi dan serasi antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Sementara itu, Peraturan Pemerintah yang mengatur pembagian urusan dan wewenang Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 belum terealisir, padahal PP tersebut diperlukan sebagai dasar penyusunan SPM, terutama yang berkait dengan kewenangan bersama (concurent). Disamping itu, Peraturan Pemerintah yang mengatur pembagian kewenangan dan urusan, sangat diperlukan sebagai dasar peyusunan Pedoman Susunan Organisasi Pemerintahan Daerah.

Namun demikian, meskipun penyusunan dan penerapan SPM di daerah masih harus menunggu ketentuan peraturan perundang-undangan lebih lanjut, sebaiknya sejak dini Daerah mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan SPM, dengan melakukan inventarisasi urusan dan kewenangan wajib yang selama ini telah dilaksanakan (urusan yang murni kewenangan daerah dan yang dikerjakan bersama). Disamping itu, melakukan kajian dan analisis jenis pelayanan dasar yang dibutuhkan masyarakat, kebutuhan dan kemampuan anggaran, ketersediaan personil dan prioritas programnya. Dengan demikian, masalah anggaran (fiscal gap), kelembagaan, personil dan hal-hal yang diperkirakan akan menjadi issue sentral, karena berkait dengan kewenangan Pemerintah, dapat lebih mudah untuk diselesaikan.

Ditulis Oleh : Unknown ~ Berbagi Design Blogger

Sobat sedang membaca artikel tentang Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebarluaskan artikel ini, tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.

Share this article :

get this widget
Memuat...


Daftar Artikel Gratis

Berlangganan Gratis



 
Support : Fahrezanugraha | Alifa Firmansyah | Team Creatif
Copyright © 2013. Skripsi, Karya Tulis Ilmiah dan bahan Tayang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger