Home » » TINJAUAN MENGENAI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK PUSAT DALAM ERA OTONOMI DAERAH

TINJAUAN MENGENAI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK PUSAT DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Written By Unknown on Rabu, 30 Januari 2013 | 05.24

TINJAUAN MENGENAI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK PUSAT DALAM ERA OTONOMI DAERAH



Oleh :

Drs. Nanang Nugraha, S.H., M.Si.

Abstrak

Kedudukan Pajak bumi dan bangunan sebagai pajak pusat atau pajak negara tersebut merupakan cerminan negara dalam melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dengan luasnya medan tanggung jawab negara, maka negara membutuhkan dukungan finansial dari rakyat. Untuk mengatur hal tersebut maka negara membuat ketentuan yang akan dijadikan pijakan untuk mengimbangi ketimpangan social dalam masyarakat dengan pajak. Hal ini sesuai amanat dalam UUD 1945, bahwa negara harus memberikan jaminan yang adil kepada rakyat dengan menggunakan uang pajak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Abstract

Position of Land Tax and building as central tax or the state tax is reflection of state in doing its(the function to serve requirement of public. Imposingly state responsibility field, hence state requires financial support from public. To arrange the thing hence state makes rule which will be made stepping to make balance to Iameness of social in public with tax. This thing is according to commendation in Constitution 1945, that state must give fair guarantee to public by using tax money for public prosperity.

Pendahuluan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan UU No. 12 Tahun 1985. Kemudian UU ini diubah dengan UU No. 12 Tahun 1998 dan mulai berlaku terhitung 1 Januari 1995. Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada Daerah, karena PBB termasuk jenis pajak yang penerimaannya dibagi-bagikan kepada daerah sebagai bagi hasil dana perimbangan (revenue sharing). Imbangan pembagian penerimaan PBB diatur dalam pasal 18 UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta melalui PP nomor 16 Tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 82/KMK.0412000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu untuk Pemerintah Pusat sebesar 10 % (dikembalikan lagi ke daerah) dan untuk Daerah sebesar 90%. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan PBB tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan Bagi Hasil Pajak.
Wacana desentralisasi fiskal kemudian muncul dengan mulai diberlakukannya kebijakan pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001. Kebijakan tersebut diwujudkan dalam 2 (dua) Undang-undang, yaitu UU Nomor 22 tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Banyak hal yang justru sudah menggejala pada awal implementasi Otonomi Daerah, seperti tarik menarik kewenangan antara pusat-daerah, bermunculannya perda dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan lainnya, daerahisme dan profesionalisme pegawai, sampai kepada wacana untuk menjadikan PBB sebagai Pajak Daerah. Masalah keuangan daerah juga selalu mendapat tempat yang penting dalam setiap kebijaksanaan pemerintahan daerah. Otonomi daerah pada awalnya dianggap sebagai suatu jawaban atas masalah yang ditimbulkan dari kecenderungan sentralisasi perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan yang terbukti selama ini ternyata tidak mendorong adanya pengembangan potensi sumberdaya manusia dari sisi prakarsa, sumberdaya ekonomi setempat dan partisipasi masyarakat. Salah satu soal yang selalu muncul ialah soal ketergantungan pemerintah daerah pada bantuan dari pemerintah pusat. Meskipun telah diambil berbagai upaya selama bertahun-tahun yang lalu untuk menyerahkan wewenang memungut pajak kepada Pemerintah Daerah, sumberdaya Pemerintah Daerah tetap saja pada umumnya pada tingkat yang rendah[1].
Kompleksitas persoalan otonomi daerah di Indonesia juga terkait dengan hubungan keuangan pusat dan daerah. Walau terdapat kepentingan yang sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan kontrol atas keuangan, namun kedua pihak juga memiliki kelemahan yang sangat mengganggu mekanisme pengelolaan keuangan pusat dan daerah. Pada tingkatan daerah, terdapat persoalan akuntabilitas dan responsibilitas pengelolaan keuangan serta belum terbentuknya sistem yang sempurna untuk memastikan setiap sen uang rakyat dikelola secara bertanggung jawab oleh pemerintah daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi malah sering disebut sebagai desentralisasi korupsi akibat berpindahnya locus penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah. Sedang pada tingkatan pemerintah pusat, orang telah sama-sama maklum tentang rivalitas yang sangat tinggi antar departemen dalam pengelolaan keuangan untuk daerah[2].
Dalam merumuskan kebijakan PBB, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah senantiasa melakukannya dengan penuh kehati-hatian karena PBB terkait dengan berbagai aspek lainnya yang sangat sensitif baik secara ekonomi maupun secara politik. PBB jika dirancang baik-baik dapat menjadi sumber penerimaan yang besar, stabil dan elastis. Kadar elastisitas tergantung pada sampai seberapa jauh tanah bersangkutan dapat ditaksir dengan teratur dan dapat dinilai menurut harga pasar yang berlaku. PBB dapat juga memperkuat peranan pemerintah daerah, karena membuka peluang dasar pajak yang lebih luas bagi penerimaan pemerintah sendiri. PBB yang efektif akan menciptakan sumber penerimaan yang kuat bagi pemerintah daerah dan memperkecil kebutuhan akan bantuan dari Pemerintah Pusat[3].
Walaupun kontribusi PBB tidaklah terlalu besar dalam struktur penerimaan negara, tetapi sangat berarti dan tidak mungkin dihilangkan. Seperti diungkapkan oleh Santoso Brotodihardjo, bahwa betapapun kecilnya jumlah uang yang akan dapat masuk kedalam kas negara, uang itu se akan dapat dipergunakan sebagai sumbangan untuk menutupi biaya-biaya pemerintahannya[4].
Permasalahan
1. Apakah ada kemungkinan Pemerintah Pusat dapat menyerahkan PBB kepada Pemerintah Daerah sebagai pajak daerah untuk menaikkan penerimaan daerahnya dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah?
2. Apakah Pemerintah Daerah mampu melaksanakan dan pengambilalihan administrasi pengelolaan PBB ?
Pembahasan
Kedudukan Pajak Bumi Dan Bangunan Sebagai Pajak Pusat.
Selama ini kedudukan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai pajak pusat terdapat dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU No. 12 Tahun 1985 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu :
“Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.”

Negara dalam memfungsikan pajak tidak pernah berubah sesuai dengan fungsi pajak yaitu fungsi anggaran/budgeter dan fungsi mengatur/regulerend. Apabila negara dalam memungut pajak bertujuan untuk memasukkan sebanyak-banyaknya uang ke kas negara, maka langkah tersebut sesuai dengan fungsi pajak yang pertama. Di mana untuk mewujudkan fungsi pajak pertama tersebut, negara akan membuat kebijakan di sektor perpajakan dengan menetapkan jenis pajak yang variatif serta tarif pajak yang bermacam-macam, sebab tanpa kebijakan seperti ini negara akan mengalami kesulitan dalam menyusun anggaran negara. Kebijakan seperti ini, merupakan suatu keharusan bagi negara yang akan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Demikian pula, fungsi pajak yang kedua yaitu fungsi mengatur, di mana pajak di sini bukan semata-mata untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, melainkan juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam fungsi mengatur ini maka pajak memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan negara, sehingga penting sebagai factor pertimbangan dalam setiap membuat kebijakan, karena itu kebijakan sektor perpajakan terkait pula dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Kedudukan PBB dan BPHTB adalah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah, dimana kedua pajak tersebut merupakan pajak pusat, sedangkan daerah hanya menerima bagian dari kedua pajak tersebut sebagai dana perimbangan. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 160 ayat (2) huruf a UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 11 ayat (2). Meskipun penerimaan PBB (termasuk BPHTB) memberikan kontribusi terhadap penerimaan perpajakan yang relatif kecil, namun PBB dan BPHTB merupakan sumber penerimaan yang sangat potensial bagi daerah. Sebagai salah satu jenis pajak langsung, PBB dan BPHTB merupakan pajak negara (pusat) yang seluruh hasil penerimaannya dibagikan kepada daerah dengan mekanisme tertentu.
Pada dasarnya pemungutan PBB dan BPHTB lebih diarahkan pada fungsi distributif, yaitu untuk menciptakan pemerataan, dengan tetap memperhatikan potensi daerah penghasil. Selama ini pengaturan objek pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak dan teknis PBB di Indonesia diatur dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah tidak terlibat secara langsung dalam hal tersebut. Pemerintah Daerah terlibat dan berperan aktif yaitu pada pelaksanaan pemungutannya.
Setiap negara memiliki aspek kelembagaan dan kepranataan yang berbeda-beda sebagai bentukan dari proses perkembangan ekonomi, kebutuhan dan struktur ekonomi, dan keadilan social masyarakatnya sehingga jenis dan struktur lembaga pengelolaan pajak propertinya secara alamiah akan menyesuaikan dengan proses perkembangan tersebut. Oleh karena itu, pengklasifikasian pajak properti sebagai pajak daerah atau pajak pusat harus dipahami tidak sesederhana menjiplak atau menduplikasi sistem yang berlaku di negara lain. Aspek tinjauan dalam pengelolaan pajak properti meliputi :
1. Aspek penerimaan (revenue).
Pajak properti merupakan sumber penerimaan yang potensial bagi daerah, maka dapat dijadikan sebagai pajak daerah
2. Aspek pengelolaan (administration). Aktivitas pengelolaan meliputi :
a. Identifikasi objek/subjek
b. Basis Data
c. Penilaian
d. Pemungutan
Dari aspek pengelolaannya, administrasi pajak properti sangat complicated dimana pajak properti dikenakan kepada semua objek properti sehingga harus tepat dalam pengklasifikasian tanah dan bangunannya dan membutuhkan biaya mahal dan teknologi tinggi, maka sesuai bila menjadi pajak pusat
3. Aspek wewenang perumusan (policy). Untuk meningkatkan aspek local taxing power, akuntabilitas dan transparansi, lebih sesuai bila menjadi pajak daerah.
Untuk kasus di Indonesia, pembagian kewenangan perpajakan tidak dapat diputuskan secara sepihak hanya oleh Pemerintah Pusat, akan tetapi diperlukan keterlibatan pemerintah daerah guna menghindari terjadinya kontra produktif kebijakan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep pajak oleh para elit birokrasi perpajakan baik di pusat maupun di daerah merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembagian kewenangan
Desentralisasi Fiskal Berdasarkan Pendapat Pakar dan Pendapat Umum
Beberapa opini dari berbagai kalangan dan pakar tentang adanya desentralisasi fiskal dengan menarik PBB sebagai pajak daerah guna meningkatkan pendapatan daerah adalah pro dan kontra. Beberapa fakta menunjukkan bahwa sistem hubungan pusat-daerah di Indonesia menurut ukuran internasional sampai saat ini sangat terpusat. Beberapa sebab mengapa suatu sistem tetap sangat terpusat menurut adalah :
1. Kekuasaan, dalam pengertian budaya setempat, bersifat tunggal.
2. Adanya kekhawatiran bahwa setiap pelimpahan kekuasaan akan mengancam kesatuan nasional.
3. Dikhawatirkan pula bahwa pemerintah daerah kurang memiliki kemampuan untuk menyusun rencana dan melaksanakan program pembangunan dengan efektif.
4. Adanya keinginan yang wajar untuk menjaga dana pemerintah agar benar-benar digunakan dengan baik.
Selama ini desentralisasi fiskal belum dapat sepenuhnya dilaksanakan karena adanya beberapa pandangan, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pandangan dari Pemerintah Pusat menurut beliau yaitu, :
1. Daerah masih dianggap belum mampu mengatur dan mengurus kepentingan dirinya sendiri, SDM relatif masih lemah, belum berkualitas, pelayanan kepada masyarakat belum optimal sehingga daerah masih harus diberi petunjuk dan pedoman serta bimbingan dari pusat sampai pada hal-hal yang kecil sekalipun, yang seharusnya tidak perlu lagi.
2. Pusat masih menilai daerah kebablasan dalam melaksanakan otonomi daerah sehingga pusat mengalami hambatan dan kesulitan dalam mengendalikan sanksi.
3. Peraturan Daerah (Perda) masing-masing daerah dinilai pusat masih gemuk, belum ramping sehingga belum efektif dan efisien dalam melaksanakan jalannya pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Akibatnya anggaran rutin tidak sebanding dengan anggaran pembangunan. Anggaran rutin relatif lebih besar daripada anggaran pembangunan. Otomatis pembangunan daerah berskala kecil, atau terhenti sama sekali. Sedangkan menurut beliau, pandangan dari pemerintah daerah adalah :
1. Pemerintah pusat cenderung tidak rela memberikan kewenangan yang semestinya sudah diatur dan diurus daerah (otonomi setengah hati). Pusat terlalu banyak turut campur urusan daerah dimana pusat sendiri tidak banyak mengetahui masalahnya.
2. Pusat seolah-olah menutup mata dan kurang memahami beban tugas yang harus dipikul daerah sebagai akibat pelimpahan wewenang yang semua ditangani instansi vertikal sebagai urusan pusat, kemudian dialihkan menjadi urusan daerah. Penataan berkelembagaan dan personel menjadi relatif sulit meskipun dana tetap dibebankan dan disuplai pusat melalui DAU.
3. Saat ini daerah mulai kelelahan setelah secara maraton mengatur dan menata organisasi pemerintah daerah bahkan masih ada daerah yang belum selesai dengan penataannya, tiba-tiba datang aturan baru. Sikap seperti ini seakan mengandung kepentingan tersembunyi yaitu apabila dengan tatanan yang baru ini daerah tidak mampu melaksanakan wewenangnya dengan baik, maka ada alasan bagi pusat untuk menarik kembali kewenangan yang diberikan.
Selanjutnya HAW. Widjaja[5] mengatakan bahwa Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tampak jelas menganut teori “residu atau sisa”, khususnya dalam kewenangan. Hal ini tampak jelas pada Pasal 7 ayat (1); “Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain”. Pasal tersebut dengan tegas menyatakan bahwa kewenangan daerah adalah seluruh kewenangan bidang pemerintahan. Penggunaan kata “kecuali” terkandung maksud untuk menyatakan secara eksplisit kewenangan-kewenangan yang menjadi kewenangan pusat dan sisanya kewenangan daerah. Pencantuman kata pada akhir kalimat : serta kewenangan di bidang lain, menunjukkan tidak sepenuhnya pusat dalam memberikan kewenangan kepada daerah.
Dengan demikian desentralisasi merupakan salah satu sendi dalam negara kesatuan dan mencirikan diri negara demokrasi. Tetapi hal itu tidaklah ada artinya jika dalam implementasinya tidak dilaksanakan secara konsisten dan sungguh-sungguh. Dalam realitasnya, desentralisasi yang terjadi di Indonesia sangat jauh dari nilai-nilai ideal. Adanya masalah inkonsistensi di dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah merefleksikan bahwa inkonsistensi hukum sering terjadi di dalam perundang-undangan di Indonesia. Tepatnya, inkonsistensi vertikal dan horisontal dalam penyelengaraan pemerintahan di daerah dan khususnya pada hubungan kewenangan menimbulkan dampak hukum yang mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap kepastian hukum yang dicita-citakan oleh pemerintah.
Sedangkan menurut Bagir Manan[6], dimensi hubungan Pusat dan Daerah dalam otonomi selain hubungan kewenangan dan hubungan pengawasan, maka hubungan keuangan akan sangat mempengaruhi antara keduanya, dimana dalam hubungan keuangan pusat dan daerah akan sangat menentukan kemandirian otonomi. Tetapi yang umum dipersoalkan adalah “minimnya”jumlah uang yang“ dimiliki” daerah dibandingkan dengan yang “dimiliki” pusat. Berdasarkan premis ini, maka inti hubungan keuangan pusat dan daerah adalah “perimbangan keuangan”. Perimbangan tidak lain adalah memperbesar pendapatan asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak.
Selanjutnya menurut beliau, bahwa dari beberapa kenyataan hubungan keuangan pusat dan daerah, ada beberapa hal yang perlu dicatat, yaitu :
1. Meskipun pendapatan asli daerah tidak banyak, tidak selalu berarti lumbung keuangan daerah tidak berisi banyak. Bahkan mungkin cukup banyak, melainkan dari uang yang diserahkan pusat kepada daerah seperti subsidi dan lain sebagainya. Tidak berarti pula lumbung keuangan daerah yang terbatas itu menyebabkan rakyatnya tidak menikmati kesejahteraan. Karena usaha kesejahteraan ikut diselenggarakan pusat.
2. Meskipun ada skema hukum perimbangan keuangan, dalam kenyataan perimbangan keuangan pusat dan daerah hanya ilusi, karena dalam keadaan apapun keuangan pusat akan selalu lebih kuat dari keuangan daerah.
3. Meskipun sumber lumbung keuangan daerah diperbesar, dapat diperkirakan tidak akan ada daerah (seperti dalam negeri ini) yang benar-benar mampu membelanjai secara penuh rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga daerah umumnya bersifat pelayanan yang banyak menyerap anggaran daripada menghasilkan uang. Kalau demikian, bagaimanakah wujud yang tepat hubungan keuangan pusat dan daerah. Hal ini pertama-tama harus dikembalikan pada pengertian dasar otonomi yaitu kemandirian. Daerah harus memiliki keleluasaan untuk menentukan sendiri mengenai cara mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya. Memperbesar sumber lumbung keuangan daerah merupakan satu cara yang mesti dilakukan. Tetapi seperti yang telah dikemukakan, pembesaran sumber itu tidak akan benar-benar menyebabkan daerah sepenuhnya berdiri sendiri. Subsidi senantiasa diperlukan dengan berbagai tujuan disamping mencukupi keuangan daerah. Yang penting, segala bentuk subsidi itu tidak akan mengurangi kemandirian daerah. Karena itu pengertian perimbangan keuangan pusat dan daerah hendaknya tidak sekedar diartikan memperbesar sumber lumbung keuangan daerah.
Demikian pula dengan upaya memperkuat otonomi daerah, maka bantuan dari pemerintah pusat sesungguhnya merupakan instrumen yang diharapkan dapat  memacu PAD dan bukan sebaliknya. Bahwa hakekat bantuan adalah untuk memperkuat tingkat otonomi suatu daerah, karena itu daerah perlu memiliki keleluasaan dalam menggunakan dana bantuan yang ada sehingga mempunyai dampak positif terhadap peningkatan PAD.
Idealnya, sumber utama pembangunan daerah harus dapat dibiayai dari PAD, hingga daerah tidak tergantung dari subsidi pemerintah pusat. Dengan demikian, daerah dapat dengan leluasa melakukan akselerasi pembangunan daerahnya tanpa beban pengaruh pemerintah, sesuai dengan makna otonomi daerah itu sendiri yaitu daerah dapat melaksanakan sendiri segala urusan pemerintah diluar kelima urusan yang masih ditangani oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, harapan tersebut bagi sebagian besar Pemerintah Daerah hanyalah sekedar mimpi belaka, bahwa tidak mungkin daerah dapat membangun hanya dengan bertumpu pada PAD saja. Oleh karena itu, daerah harus memperoleh subsidi dari pemerintah pusat yang kita kenal dengan “Dana Perimbangan”, yang dimaksudkan untuk menanggulangi gap capacity dalam pembiayaan pembangunan daerah (APBD). Dengan demikian, daerah yang sudah kaya, karena memperoleh bagi hasil dari Sumber Daya Alam (SDA) maupun bagi hasil dari Non SDA (penerimaan pajak) seharusnya merelakan dana perimbangannya diberikan kepada daerah yang tidak beruntung. Akan tetapi, bagi daerah yang kaya, dengan alasan bahwa selama era “sentralistik” daerahnya menderita karena sumber kekayaannya telah dikuras habis oleh pemerintah pusat, merasa tidak fair kalau saat reformasi sekarang sejarah lamanya dilupakan.
Ketidakpuasan daerah hampir memicu disintegrasi bangsa dan negara kesatuan RI yang disebabkan oleh rasa ketidakadilan terhadap pembagian BAU. Akhirnya secara arif pemerintah membuat kebijakan “sapu jagad”, yaitu ketetapan yang menyatakan bahwa besarnya DAU tidak boleh kurang dari bagian DAU tahun lalu. Tidak rasional memang, tapi itulah jalan terbaik untuk mengeliminasi pertikaian daerah dalam perebutan pembagian DAU. Dalam pelaksanaan kebijakan hubungan keuangan pusat dan daerah di Indonesia selama ini masih dijumpai berbagai masalah dan hambatan yang terkait dengan penyusunan formula dan kriteria dana perimbangan khususnya formula DAU dan DAK yang belum sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip transfer Pemerintah Pusat kepada daerah sesuai dengan masing-masing tujuannya.
Hal ini antara lain disebabkan oleh masih adanya berbagai kepentingan yang muncul dalam pengambilan kebijakan, sehingga menyebabkan menurunnya kepercayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Ada pandangan bahwa kebutuhan daerah tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dimana secara tersirat mencerminkan, dana alokasi umum juga ditentukan berdasarkan sasaransasaran yang hendak dicapai. Dengan demikian menjadi semacam subsidi khusus. Lebih lanjut, bagian daerah dalam semua skema diatur dan ditentukan dalam APBN. Untuk menjamin perolehan hak secara wajar, daerah harus setiap tahun “berjuang” menentukan (bahkan harus menuntut) hak daerah.
Dalam uraiannya beliau menjelaskan, kebutuhan fiskal pada dasarnya merupakan kebutuhan daerah untuk membiayai semua pengeluarannya dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah menyediakan pelayanan publik (expenditure needs). Untuk menentukan kebutuhan pembiayaan daerah, variabel vang digunakan dikaitkan dengan fungsi wajib yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang meliputi belanja operasional pegawai dan pengadaan fasilitas publik. Adapun penjelasan dari variabel-variabel yang berhubungan dengan kebutuhan pembiayaan adalah sebagai berikut :
(a) Indeks Jumlah Penduduk adalah besarnya penduduk daerah yang mencerminkan kebutuhan pelayanan yang diperlukan.
(b) Indeks Luas Wilayah adalah daerah dengan penduduk, yang tidak padat tetapi memiliki cakupan wilayah yang luas, akanmembutuhkan pembiayaan yang besar.
(c) Indeks Kemahalan Konstruksi adalah indeks harga yang merupakan cermin potret kondisi geografis daerah.
(d) Indeks Kemiskinan adalah target pelayanan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, makin besar jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, makin besar kebutuhan pembiayaan suatu daerah.
(e) Pengeluaran Daerah Rata-rata adalah total pengeluaran rata-rata jumlah biaya rutin gaji dan non gaji ditambah belanja pembangunan daerah untuk mengukur biaya rata-rata pengadaan pelayanan publik di daerah.
Kesimpulan & Saran
Kesimpulan
1. Bahwa penyerahan PBB sebagai pajak daerah oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, sebagai upaya untuk mewujudkan desentralisasi fiskal sebenarnya dapat dilaksanakan tetapi harus dilengkapi dengan adanya Undang-undang yang mengatur tentang pelimpahan tersebut sehingga ada kejelasan hukum sehingga tidak merugikan masyarakat sebagai pelaku pembayar pajak, dan seharusnya dengan desentralisasi fiskal akan lebih banyak memberikan manfaat dengan lebih memperhatikan faktor keadilan yang sama bagi  semua subyek pajak. Dan bahwa subsidi selama ini masih tetap menjadi sumber utama keuangan daerah (melalui dana perimbangan) dan sumber PAD tidak menjamin keleluasaan dan kemandirian daerah, sehingga daerah harus berupaya untuk dapat menggali potensi daerah dalam peningkatan PAD-nya tanpa harus mengorbankan rakyat.
2. Kemungkinan Pemerintah Daerah akan melaksanakan dan mengambil alih administrasi pengelolaan PBB seperti yang telah berjalan selama ini, berdasarkan penelitian terdapat kecenderungan bahwa pemerintah daerah merasa mampu untuk mengambil alih administrasi PBB dengan segala konsekuensi walaupun secara fakta kemampuan untuk mengenal tata cara administrasi PBB masih rendah walaupun pemerintah daerah sudah menjadi mitra kerja PBB sejak lama. Akan tetapi berbeda dengan para pengambil keputusan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah yang lebih cenderung berpikir realistis bahwa untuk sementara PBB lebih baik sebagai pajak pusat dari pada pajak daerah. Dengan berbagai pertimbangan tentunya, seperti SDM, faktor teknologi dan biaya.
Saran
1. Desentralisasi fiskal dengan PBB bukan solusi yang tepat untuk sebuah kewenangan otonomi daerah yang luas apabila tidak diadakan penelitian, tindakan dan evaluasi khusus terhadap berbagai daerah. Penelitian dan kajian diperlukan sebagai upaya untuk menindaklanjuti berbagai peraturan perundangan yang dikeluarkan menyangkut terlaksananya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, sehingga diharapkan pelaksanaan otonomi daerah baik menyangkut kelembagaan, kewenangan dan tanggung jawab aparatur maupun sumbersumber pembiayaan dan sarana serta prasarana pendukung lainnya benarbenar dipastikan telah ideal dan sesuai dengan aspirasi, tuntutan dan kebutuhan daerah otonom, sehingga tidak akan menimbulkan masalahmasalah fundamental di masa yang akan datang.
2. Pengalihan administrasi PBB yang sudah jelas, menggunakan tehnologi tinggi dan telah lama dilaksanakan harus diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelaksanaan seleksi yang jelas, ketat dan baik karena penyeleksian merupakan salah satu unsur dalam memantapkan pengembangan kualitas aparatur dan organisasional dari pemerintah daerah sendiri, Siapapun yang akan mengelola dan menjalankan administrasi PBB seharusnya adalah yang benar-benar mengetahui tentang tata cara pengadministrasian PBB mulai dari penetapan obyek dan subyek PBB, pendataan, penghitungan sampai kepada pemungutannya, dan memahami betul semua aplikasi PBB dari mulai SISMIOP, SIG dan juga SIN, karena semua berbasis tehnologi yang pada akhirnya bertujuan untuk peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat pembayar pajak dan meningkatkan penerimaan negara. Untuk itu daerah yang akan menerima tugas dan wewenang melaksanakannya harus benar-benar siap baik dari semua sumber daya yang ada, yaitu SDM, tehnologi dan finansialnya.
Daftar Pustaka

Bagir Manan,S.H, “Beberapa hal di sekitar otonomi Daerah sebagai sistem penyelenggaraan  Pemerintahan”,Majalah Padjadjaran,Jilid V-Nomor 3-4, Juli-Oktober 1974,hal 37 Penerbit Bina Cipta, Bandung.

Brotodihardjo, Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika Aditama, Bandung.

Devas, Nick, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Sumber Penerimaan Daerah : Retribusi dan Laba Badan Usaha Milik Daerah), UI Press, Jakarta.
HAW. Widjaja, 2004, Penyelenggaraan otonomi Di Indortesia (Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Karim, Abdul Gaffar, (Amirudin, Mada Sukmajati, Nur Azizah), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah, Cetakan I, Pustaka Pelajar.

Kelly, Roy, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia), UI Press, Jakarta

Riwayat Hidup Penulis
Drs. Nanang Nugraha, S.H., M.Si., Lahir di Karawang 4 April 1964, Saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Fakultas Ilmu Politik Universitas Purwakarta, riwayat pendidikan dimulai sebagai Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) seteah itu memperoleh pendidikan magister pemerintahan di Institut Ilmu Pemerintahan, saat ini sedang menempuh magister hukum di Universitas Islam Bandung dan Doktor ilmu pemerintahan di Universitas Padjajaran Bandung, pekerjaan yang dijalani saat ini yaitu sebagai Dekan Fisip Universitas Purwakarta, sebagai Dosen tetap di Universitas Purwakarta, mengajar juga sebagai dosen di Universitas Singa Perbangsa Karawang, STKIP Subang, dan IPDN serta menjadi tenaga pendidik dan pelatihan di Widyaiswara Kabupaten Purwakarta.  



[1] Devas, Nick, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia : Sebuah Tinjauan Umum), UI Press, Jakarta. hlm 14
[2] Karim, Abdul Gaffar, (Amirudin, Mada Sukmajati, Nur Azizah), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah, Cetakan I, Pustaka Pelajar. Hlm xviii - xix
[3] Kelly, Roy, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia), UI Press, Jakarta. hlm 120
[4] Brotodihardjo, Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika Aditama, Bandung. Hlm 220
[5] HAW. Widjaja, 2004, Penyelenggaraan otonomi Di Indortesia (Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,hlm 29

[6] Bagir Manan,S.H, “Beberapa hal di sekitar otonomi Daerah sebagai sistem penyelenggaraan  Pemerintahan”,Majalah Padjadjaran,Jilid V-Nomor 3-4, Juli-Oktober 1974, Penerbit Bina Cipta, Bandung, hlm 37.

Ditulis Oleh : Unknown ~ Berbagi Design Blogger

Sobat sedang membaca artikel tentang TINJAUAN MENGENAI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK PUSAT DALAM ERA OTONOMI DAERAH. Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebarluaskan artikel ini, tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar bijak Anda sangat di nantikan ..Terimakasih.Salam Sukses...

get this widget
Memuat...


Daftar Artikel Gratis

Berlangganan Gratis



 
Support : Fahrezanugraha | Alifa Firmansyah | Team Creatif
Copyright © 2013. Skripsi, Karya Tulis Ilmiah dan bahan Tayang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger